Saran-Kritik terhadap RPP Penggunaan TKA
Kolom

Saran-Kritik terhadap RPP Penggunaan TKA

​​​​​​​Perlu dilakukan restrukturisasi kembali ketentuan mengenai TKA dalam RPP Penggunaan TKA.

Bacaan 7 Menit

Apakah hal tersebut tidak dimungkinkan? Artinya, undang-undang ini hanya -memungkinkan- membebaskan sponsor dari kepemilikan RPTKA untuk anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang merupakan representasi pemegang saham langsung (personal direct placement). Hal-hal tersebut ternyata tidak dijelaskan oleh RPP Penggunaan TKA.

Jika demikian, bagaimana nantinya (di lapangan) membedakan berbagai macam karakteristik anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris tersebut, seandainya masing-masing anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris menjadi objek pemeriksaan aparat penegak hukum, baik dari instansi ketenagakerjaan, dari hukum dan HAM atau imigrasi, dan/atau instansi terkait lainnya? Apakah mereka masing-masing harus membuktikan sesuai dokumen yang dimiliki? Dalam arti, TKA pemegang saham (direct owner) memperlihatkan akta pendirian perusahaan (dan perubahan-perubahannya) yang mencantumkan nama dan nilai sahamnya, dan yang lainnya: TKA professional memperlihatkan RPTKA sponsor yang mencantumkan namanya dalam RPTKA sponsor dimaksud.

Terkait dengan ketentuan pengecualian kepemilikan RPTKA bagi Direksi atau Komisaris tersebut, perlu kiranya mencermati ketentuan lainnya dalam UU Ciptaker, yakni Pasal 81 butir 4 mengenai perubahan Pasal 42 ayat (4) yang menyatakan, bahwa TKA dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja, untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki. Berdasarkan ketentuan tersebut, timbul pertanyaan: apakah hubungan hukum antara TKA yang anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris dengan perusahaan sponsor adalah merupakan hubungan kerja dan didasarkan pada perjanjian kerja? Tentu saja, bukan.

Menurut Pasal 1 angka 15 juncto Pasal 50 UU 13/2003, bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha (Pemberi Kerja TKA – sponsor) dengan pekerja (TKA) berdasarkan perjanjian kerja. Selanjutnya ditegaskan, bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha (sponsor) dan pekerja (TKA). Dalam kaitan ketentuan tersebut: adakah perjanjian kerja antara anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris dengan RUPS?

Berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas, bahwa anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh RUPS yang syarat-syarat hubungan hukumnya diatur dalam Anggaran Dasar (article of incorporation). Itu artinya, hubungan hukum antara anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris dengan RUPS adalah hubungan korporasi (corporate law) dan bukan merupakan hubungan kerja (zonder arbeids-verhouding) dan tidak didasarkan pada perjanjian kerja (zonder arbeids-overeenkomst).

Kalau bukan hubungan kerja, pertanyaannya: kenapa hal ini diatur dalam ruang lingkup ketenagakerjaan? Apakah karena (hanya sekadar) nomenclatuur-nya “tenaga kerja asing”, sehingga harus memenuhi syarat dan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Bukankah kompetensi absolut anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris ada di pengadilan perdata pada Pengadilan Negeri, dan tidak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri.

Apabila konsisten dengan ketentuan Pasal 81 butir 4 mengenai Pasal 42 ayat (4) tersebut di atas, maka bagi TKA yang menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris, ketentuan dan syarat-syarat penggunaannya tentunya tidak perlu diatur dalam wilayah ketenagakerjaan (terlebih dengan peraturan menteri ketenagakerjaan), tetapi cukup diatur dalam RPP ini dalam hubungannya dengan instansi/institusi penanaman modal, instansi perdagangan dan perindustrian, dan instansi kementerian hukum dan HAM -termasuk instansi keimigrasiannya-, serta instansi/institusi lainnya yang terkait dengan TKA untuk jabatan anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris dimaksud.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait