SE Pendelegasian Kewenangan Pj Kepala Daerah Dipertanyakan, Begini Penjelasan Mendagri
Terbaru

SE Pendelegasian Kewenangan Pj Kepala Daerah Dipertanyakan, Begini Penjelasan Mendagri

Bertujuan memudahkan proses birokrasi agar tidak terlalu panjang. Prosesnya tetap bermuara ke Kemendagri. Perlu memperketat mekanisme pengawasan dari Kemendagri dan Komisi II agar tidak terjadi politisasi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit

“Jadi yang bisa disimpelkan. Jadi hanya dua. Isu yang berkembang seolah-olah Mendagri memberi kewenangan penuh tidak terbatas kepada Pj kepala daerah melakukan pemberhentian dan mutasi jabatan, tidak benar.Jadi baca yang benar Pasal 4A dan 4B SE,” ujarnya.

Kekhawatiran politisasi kewenangan

Mantan Kapolri periode 2016-2019 itu melanjutkan adanya kekhawatiran terjadinya politisasi kewenangan yang diberikan Mendagri lantaran dianggap terlampau luas. Padahal, kata Tito, kewenangan yang diberikan hanya dua. Pertama, Pj, Pjs, Plt menandatangani persetujuan pemberhentian terhadap pegawai ASN yang sudah berhadapan atau tersandung masalah hukum. Karenanya harus diberhentikan sesuai UU. “Itu pun 7 hari kemudian harus lapor ke Mendagri,” ujarnya.

Kedua, mutasi pegawai antar daerah tidak perlu persetujuan tertulis dari Mendagri, sehingga cukup tanda tangan dari Pj. Namun demikian, proses mutasi tetap ke Kemendagri dan diserahkan ke Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk kemudian disetujui atau tidaknya mutasi antar daerah.

“Jadi sekedar untuk menandatangani mutasi daerah tidak perlu mendapat tanda tangan saya, karena akan menumpuk birokrasi. Padahal kita mau birokrasi lebih cepat dan lincah. Tapi jangan terlalu birokratis, dan menurut saya tidak bertentangan dengan UU. Jadi perlu terobosan hukum untuk trigger agar tidak terjadi penumpulkan,” ujarnya.

Soal kekhawatiran terjadinya politisasi Pj, Pjs, Plt melakukan pemberhentian dan mutasi secara sewenang-wenang, Kemendagri bakal memperkuat mekanisme pengawasan. Per tiga bulan, para Penjabat harus memberi laporan pertanggungjawaban kepada Kemendagri melalui Inspektur Jenderal (Irjen) Pengawasan dan Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kemendagri.

“Kita bisa evaluasi mereka. Kita akan profesional mengawasi mereka,” ujarnya.

Menurutnya, bila tidak puas dengan mekanisme pengawasan Kemendagri, para penjabat yang bermasalah dapat dipanggil Komisi II DPR melalui Mendagri. Tito akan amat terbuka bila Komisi II memanggil penjabat yang bermasalah dengan terlebih dahulu mendalani proses pengawasan di Kemendagri. Pemanggilan oleh Komisi II DPR menunjukann keterbukaan agar dapat dikonfirmasi langsung dengan penjabat.

“Saya tidak berkeberatan untuk keterbukaan biar bisa langsung ditanyakan ke yang bersangkutan. Saya tidak akan lindungi bila memang sewenang-wenang. Kalau dianggap tidak puas dengan mekanisme pengawasan di Kemendagri bisa dipanggil DPR,” tegasnya.

Sedari awal, dirinya sudah menyampaikan ke para penjabat kepala daerah soal tugas dan jabatannya lebih berat. Sebab, para penjabat mudah sekali dicopot jabatannya. Bila penjabat kepala daerah definitif mitra kerjanya adalah DPRD tingkat I atau II, sehingga dapat menolak panggilan DPR. Tapi kalau Pj, Pjs, dan Plt kepala daerah dapat langsung dipanggil oleh Komisi II DPR dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan.

Jenderal (Purn) polisi bintang empat itu berjanji bakal mengoreksi dengan melihat ulang berbagai dasar peraturan perundangan sebagai dasar hukum penerbitan SE tersebut. Tapi prinsipnya, kata Tito, perlu ada solusi mekanisme menyelesaikan persoalan penumpukan permintaan persetujuan dari Mendagri soal pemberhentian maupun mutasi pegawai yang amat birokratis.

“Kami akan melakukan konsultasi. Karena kami paham implikasi ke temen-temen partai politik, karena pertarungan 2024 kami sangat paham,” katanya.

Tags:

Berita Terkait