Sebar Gambar Asusila, Pelajar Terjerat UU ITE
Berita

Sebar Gambar Asusila, Pelajar Terjerat UU ITE

Mahkamah Agung menolak alasan-alasan kasasi penuntut umum.

Mys
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung. Foto: Ilustrasi (Sgp)
Gedung Mahkamah Agung. Foto: Ilustrasi (Sgp)

Masih ingat Reza Rizaldi alias Rejoy dalam kasus video porno Ariel? Pria yang berprofesi sebagai editor musik ini, Januari lalu, dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menyebarkan video porno Ariel. Pengadilan Negeri Bandung mengganjar Rejoy vonis dua tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan.

 

Reza bukan orang pertama yang dihukum pengadilan gara-gara menyebarkan atau menggandakan film atau video porno. Pada 2002 silam, Yayan Supriyatna harus menghadapi proses hukum gara-gara dianggap menyebar film Bandung Lautan Asmara. Pengadilan telah bersikap menghukum orang-orang yang selama ini berperan menyebarkan, menggandakan, dan mentransfer konten porno sehingga ditonton banyak orang.

 

Perkara terbaru yang putusannya dipublikasikan lewat laman Mahkamah Agung menimpa Ketut Juniawan alias Juni, seorang pelajar asal Bali. Seperti tertuang dalam salinan perkara itu, Pengadilan Negeri Singaraja Bali menghukum Juni gara-gara “menyebar rekaman secara elektronik”.

 

Ia dinyatakan melanggar Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal ini mengkriminalisasi siapa saja yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

 

Pengadilan juga menyatakan empat buah telepon genggam merek Nokia yang dijadikan alat menyebar gambar porno dimusnahkan.

 

Kasus ini berlanjut hingga Mahkamah Agung, lantaran jaksa menganggap hukuman terhadap terdakwa belum setimpal. Pengadilan Negeri Singaraja hanya menghukum Juni enam bulan penjara, dan itu pun tak perlu dijalani kecuali ada perintah lain karena terdakwa melakukan tindak pidana lagi selama 10 bulan.

 

Peristiwa yang akhirnya mengantarkan Juni ke meja hijau terjadi pada pekan pertama Desember 2008 silam. Terdakwa bersama teman-temannya mengintip perbuatan asusila yang dilakukan saksi EY dan saksi KY. Persetubuhan dilakukan di sebuah kamar rumah di dusun Selat, Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali. Disamping mengintip, adegan susila itu direkam melalui telepon genggam oleh saksi Putu Perry.

 

Setelah selesai, terdakwa meminta telepon genggam Putu Perry dan mentransfer gambar melalui bluetooth ke HP milik terdakwa. Sedangkan gambar pada HP saksi Putu dihapus. Terdakwa kemudian memperlihatkan adegan asusila itu kepada sejumlah orang. Keluarga KY, saksi korban pelaku adegan asuila, akhirnya merasa malu karena perbuatan asusila itu menjadi buah bibir. Keluarga KY tak terima, lalu melapor ke polisi.

 

Penuntut umum mendakwa Juni melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam UU ITE. Di persidangan, penuntut umum menuntut terdakwa enam bulan penjara. Sesuai tuntutan jaksa, majelis hakim PN Singaraja menghukum terdakwa enam bulan, tetapi dengan tambahan “tidak perlu dijalani”. Pada 18 November 2009, Pengadilan Tinggi Bali menguatkan putusan tersebut. Penuntut umum tak terima dan mengajukan kasasi.

 

Penuntut umum beralasan perbuatan terdakwa dilakukan tanpa seizin saksi korban. Pengadilan Tinggi seharusnya memperhatikan alat bukti yang dihadirkan di persidangan. Keterangan saksi-saksi bersesuaian sehingga layaklah terdakwa dihukum sesuai tuntutan jaksa. Meskipun status terdakwa sebagai pelajar dianggap sebagai unsur yang meringankan, tetapi terdakwa tak pernah bekerja di bidang elektronik. Sehingga terdakwa memang dengan sengaja menyebar gambar adegan asusila itu kepada saksi-saksi. Alat bukti petunjuk (Pasal 188 KUHAP) terpenuhi karena keterangan saksi-saksi bersesuaian.

 

Dalam putusan yang dijatuhkan pada 26 Oktober 2010 lalu, dan bisa diakses, Mahkamah Agung menganggap alasan-alasan penuntut umum tidak dapat dibenarkan. Majelis hakim agung dipimpin HM Imron Anwari –beranggotakan Prof. HM Hakim Nyak Pha dan Suwardi—menolak permohonan kasasi penuntut umum.

 

Mengenai berat ringannya pemidanaan, MA menyatakan sebagai wewenang judex factie. Mahkamah Agung bisa mengubah berat ringannya pemidanaan sepanjang judex factie menjatuhkan hukuman yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, melampaui batas maksimum pidana, atau pidana dijatuhkan tanpa melalui pertimbangan yang cukup.

Tags: