Segera Terbit, Permen Baru Imbalan Kurator
Berita

Segera Terbit, Permen Baru Imbalan Kurator

Ada dua mekanisme perhitungan yang sudah dirancang.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Gedung Kemenkumham. Foto: SGP.
Gedung Kemenkumham. Foto: SGP.

Setelah sempat menjadi kontroversi, dan Mahkamah Agung mengabulkan pengujiannya, ketentuan mengenai imbalan atau fee kurator direvisi. Kementerian Hukum dan HAM bersama pemangku kepentingan sudah menyiapkan revisi terhadap Peraturan Menteri No. 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan Kurator dan Pengurus. Beleid yang diterbitkan di era Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin itu dianggap bisa mempengaruhi penilaian tingkat kemudahan berusaha di Indonesia. Itu pula sebabnya, Pemerintah ingin Permen fee kurator itu diubah.

Ditemui usai menutup seminar bertajuk “Wacana Perubahan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang” di Sentul, Jawa Barat, Jumat (11/3) sore, Direktur Perdata Kementerian Hukum dan HAM Daulat P. Silitonga menjelaskan penyusunan dan pembahasan Permen tersebut sudah hampir rampung. Rapat sudah digelar beberapa kali, sehingga ia berharap Permen baru imbalan kurator itu segera terbit.

“Sudah dihasilkan Peraturan Menteri dan mudah-mudahan Permen ini dalam waktu yang tidak lama akan keluar, yang lebih mengakomodir keadaan sekarang dan tidak memberatkan, baik kepada pihak kurator dan juga tidak berlebihan, bisa dikatakan wajar,” kata Silitonga kepada hukumonline.

Silitonga membenarkanalasan utama perubahan Permen imbalan kurator  terkait peringkat kemudahan berusaha di Indonesia. Fee kurator yang dinilai terlalu besar, lanjutnya, menjadi suatu keluhan dunia usaha. Untuk itu, pemerintah menghendaki perubahan besaran fee kurator tidak membebani dunia usaha, baik secara finansial maupun secara birokrasi.

Silitonga menjelaskan ada dua mekanisme perhitungan imbalan curator. Pertama tetap menggunakan persentase. Besaran persentase fee kurator dalam peraturan baru ini angkanya lebih kecil dibanding aturan yang lama. Kedua,  sistem pembayaran imbalan per-jam (hourly basis). Fee berbasis waktu ini dipakai untuk situasi tertentu dan didasarkan pada beban kerja yang dilakukan kurator atau pengurus. Misalnya, proposal perdamaian diterima dan perusahaan tidak jadi pailit. Adapun patokan besaran nominalnya dihitung berdasarkan besaran utang, bukan aset.

Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta, Heru Pramono, mengaku juga turut memberikan masukan terhadap aturan fee kurator. Menurutnya, masukan yang diserahkan kepada Kementerian Hukum dan HAM adalah pembayaran fee yang disesuaikan dengan tingkat profesionalisme kurator. “Iya kita (PT--red) memberikan masukan juga terkait fee kurator. Misalnya dengan memberikan fee sesuai dengan tingkat profesionalisme,” kata Heru.

Namun Kementerian menilai sulit mengukur tingkat profesionalisme kurator. Silitonga juga mengkonfirmasi kesulitan menentukan ukuran profesionalisme dan bagaimana mekanisme pengukurannya. Meskipun demikian, masukan Pengadilan Tinggi tetap dipertimbangkan. “Profesionalisme itu kemampuan yang sulit untuk diukur, ada yang kurator baru tapi memang jago. Karena ada kesulitan menilai maka kita mencari formulasi lain yang ujung-ujungnya untuk memberi keadilan. Formulasi lain seperti hourly basis, per jam, dan itu lebih fleksibel,” jelasnya.

Sekjen Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Imran Nating mengakui pihaknya juga turut merumuskan aturan baru fee kurator bersama Kemkumham. Beberapa kali pertemuan sudah dilakukan. Ia membenarkan kedua mekanisme perhitungan imbalan yang disebut Silitonga. Tetapi, untuk fee hourly basis hanya dapat diberlakukan kepada Pengurus, bukan kurator.

“Pada dasarnya kita (AKPI) sepakat, walaupun persentasenya dikurangi. Tetapi, fee hourly basis hanya bisa diberlakukan untuk pengurus PKPU, yang mungkin hanya tiga kali rapat PKPU-nya diterima atau batal pailit. Tetapi kalau sudah dinyatakan pailit, dan kurator mengurus boedel pailit, tetap harus pakai persentase dari total aset,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait