Sejumlah Alasan Revisi UU Konservasi SDA Perlu Tetap Dirampungkan
Berita

Sejumlah Alasan Revisi UU Konservasi SDA Perlu Tetap Dirampungkan

Karena kasus kerusakan lingkungan dan ekosistemnya semakin marak terjadi. Pemerintah dan DPR diminta tetap melanjutkan revisi UU Konservasi SDA yang dinilai tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Dialog Publik bertajuk
Dialog Publik bertajuk "Mendorong Pembahasan UU 5/1990 tentang KSDA" di Fakultas MIPA Universitas Indonesia, Kamis (24/5). Foto: MJR

Revisi pembahasan Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDA) bakal mandeg. Sebab, meski sudah masuk dalam program legislasi nasional (proglegnas) 2018, revisi UU No. 5 Tahun 1990, pemerintah telah menyatakan tidak melanjutkan pembahasan.

 

Ketua Institute of Sustainability Earth and Resource (I-SER), Jatna Supriatna mendesak pemerintah bersama DPR segera merampungkan revisi UU No. 5 Tahun 1990. Dia menilai aturan yang ada saat ini masih belum mampu melindungi kawasan konservasi dan satwa terlindungi.  

 

“Banyak ancaman nyata terhadap upaya konservasi seperti perambahan kawasan konservasi, perburuan liar satwa bernilai tinggi, pembunuhan hingga peracunan satwa liar yang dianggap mengganggu kehidupan manusia, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun, serta konversi hutan untuk berbagai kepentingan budidaya, pemukiman, dan pembangunan nasional,” kata Jatna dalam acara Dialog Publik “Mendorong Pembahasan UU 5/1990 tentang KSDA”.

 

Jatna menuturkan berbagai ancaman dan tekanan terhadap kelestarian keanekaragaman hayati disebabkan lemahnya tata kelola konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Menurut hasil kajiannya, UU Konservasi 5/199 memiliki sejumlah kelemahan, seperti pemberian sanksi rendah atas pelanggaran pidana, denda yang rendah atas kejahatan terhadap sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, peran kelembagaan dalam menjaga wilayah konservasi dan ekosistemnya juga masih lemah.

 

Menurut dia, revisi UU 5/1990 tersebut harus relevan dengan kondisi saat ini. Pasalnya, seiring perkembangan aktivitas masyarakat mengakibatkan rusaknya lingkungan. “Adanya perkembangan politis, sosial, ekonomi, dan ilmu pengetahuan sejak tahun 2000 mengakibatkan terjadinya degradasi yang mengarah kepunahannya. UU 5/1990 dianggap sudah tidak relevan dengan keadaan zaman, sehingga perlu disempurnakan,” kata Jatna.

 

Dia mencontohkan sejak periode tahun 2000 ke atas, aktivitas perburuan satwa liar dan kerusakan lingkungan semakin tinggi. Berbagai kasus antara lain kematian orang utan di Kalimantan, konflik gajah dan manusia di Aceh, dan kasus perdagangan tumbuhan, serta satwa liar dengan nilai transaksi tinggi.

 

Berdasarkan data Pusat Penelusuran dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), Jatna menjelaskan transaksi perdagangan tumbuhan dan satwa liar mencapai lebih dari Rp13 triliun per tahun, yang nilai tersebut terus meningkat setiap tahunnya.

 

“Perdagangan illegal tumbuhan dan satwa liar tersebut menjadi kejahatan urutan ketiga tertinggi yang nilainya setelah narkoba dan perdagangan manusia,” kata Jatna. Baca juga: Ini Daftar 17 RUU yang Pembahasannya Sudah Lebih dari 5 Kali

 

Sementara itu, seorang ahli I-SER, Sunaryo mengatakan penguatan sanksi dalam revisi UU 5/1990 perlu dilakuan agar memberi efek jera bagi pelaku. Dia menyayangkan selama ini biaya rehabilitasi terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi yang masih ditanggung pemerintah.

 

Selain itu, pembagian tugas pengawasan antar lembaga pemerintah juga perlu diperjelas dalam revisi tersebut. Dia menilai regulasi yang ada saat ini masih terjadi tumpang tindih kewenangan sehingga kerap terjadi lepas tanggung jawab.

 

“Penegakkan hukum UU 5/1990 merupakan bagian penting untuk diperkuat agar memberi efek jera dengan hukuman dan denda yang relevan. Selain itu, perlu adanya kejelasan kewenangan bagi para penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) sehingga dapat mengurangi tekanan dan ancaman terhadap upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnnya,” harap Sunaryo.

 

Tidak melanjutkan pembahasan

Sayangnya, di tengah kondisi seperti ini, pemerintah masih belum ingin merevisi UU 5/1990. Direktur Jenderal KSDA Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno beralasan RUU KSDAHE yang merupakan RUU inisiatif dari DPR ini banyak pasal yang tidak sesuai dengan filosofi konservasi dan prinsip dasar ekologi. RUU tentang KSDA juga tidak sejalan dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945.

 

“Dalam arahan Presiden (Joko Widodo), pemerintah memutuskan tidak melanjutkan pembahasan revisi UU 5/1990. Upaya kami untuk menjaga kawasan konservasi dan ekosistemnnya dengan memperketat pengawasan terhadap pelaksanaan atau implementasi dari setiap UU yang ada di Indonesia. Kami juga akan menyelaraskan pelaksanaannya dengan melibatkan kementerian dan lembaga terkait,” kata Wiranto.

 

Sementara itu, Anggota DPR RI Komisi IV, Viva Yoga Mauladi mengatakan pihaknya tetap akan memanggil pemerintah untuk segera membahas revisi UU 5/1990. Dia berharap revisi UU 5/1960 tersebut segera disepakati agar memberi kejelasan bagi publik. “Kami akan panggil rencananya minggu depan. Nanti, kami akan kembali bahas mengenai revisi aturan ini,” kata Viva.

Tags:

Berita Terkait