Sejumlah Catatan Ormas Islam tentang Rancangan KUHP
Utama

Sejumlah Catatan Ormas Islam tentang Rancangan KUHP

Kalangan ormas Islam setuju mengubah KUHP produk Kolonial menjadi KUHP yang diterbitkan atas dasar karakter dan jati diri bangsa Indonesia, namun dengan sejumlah catatan dan usulan.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH NU) Abdul Hakam Aqsho dalam pemaparan catatan RKUHP, Rabu (12/10/2022). Foto: FKF
Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH NU) Abdul Hakam Aqsho dalam pemaparan catatan RKUHP, Rabu (12/10/2022). Foto: FKF

Sebagai salah satu wadah penyampaian pandangan dan aspirasi masyarakat, melalui Komisi Hukum dan HAM Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghadirkan sejumlah organisasi Islam untuk berbagi pandangan terhadap RKUHP. Pada Mudzakarah Hukum Nasional dan Hukum Islam bertajuk “Kajian Kritis Atas 14 Isu Krusial RUU KUHP” itu mayoritas kalangan ormas Islam setuju mengubah KUHP produk Kolonial menjadi KUHP yang diterbitkan atas dasar karakter dan jati diri bangsa Indonesia. Akan tetapi, persetujuan itu diikuti dengan sejumlah catatan dan usulan dari ormas-ormas Islam.

“Pertama, tentang hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law, Pasal 2 (pada RKUHP). Sikap dari PBNU setuju dengan catatan. Catatannya Pasal 18B UUD 1945 mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI,” ujar Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH NU) Abdul Hakam Aqsho dalam pemaparan catatan RKUHP, Rabu (12/10/2022).

Selain itu, pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat atau penerapan pidana adat juga perlu mempertimbangkan bahwa pemberlakuannya sejala dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, HAM, dan asas-asas hukum yang berlaku. Pemberlakuannya terbatas pada tempat living law itu berlaku dimana living law tersebut mengenai hal-hal yang tidak atau belum diatur dalam RKUHP.

Baca Juga:

Kemudian perihal pasal pidana mati di RKUHP dipandang sudah sesuai karena menempatkan pidana mati sebagai alternatif dari pidana penjara waktu tertentu dan pidana penjara seumur hidup. Dimana penjatuhannya dengan masa percobaan 10 tahun memberikan kesempatan kepada terpidana mati untuk melakukan pertaubatan dan melakukan perubahan menjadi pidana seumur hidup jika menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji atau taubatan nasuha. Untuk itu, meski pidana mati tetap tercantum, namun tetap mengedepankan prinsip pengampunan.

Mengenai penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, pada prinsipnya PBNU memberikan catatan bahwa delik ini sebagai delik aduan serta dikecualikan jika perbuatannya dilakukan pelaku atas motif membela diri atau demi kepentingan umum. Lalu perihal kekuatan ghaib dalam RKUHP, Abdul menyampaikan bahwa sanksi pidanyanya perlu dikurangi menjadi maksimal 1 tahun.

“Delik ini perlu disosialisasikan dengan baik, terutama kepada aparat penegak hukum agar lebih ditekankan pada aspek pencegahan dan tidak secara menyeleweng dipakai untuk mengkriminalisasi pihak tertentu. Penerapan delik ini perlu dipastikan agar tidak justru menyasar tokoh agama dan aliran kepercayaan,” paparnya.

Perihal contempt of court, meski setuju PBNU memberikan usulan delik ini tidak boleh digunakan untuk membatasi kebebasan atau mengkriminalisasi setiap orang yang berupaya memperjuangkan keadilan untuk diri pribadi, orang lain, atau publik melalui cara-cara yang damai dan beradab. Termasuk tidak boleh pula dengan delik ini untuk membatasi kebebasan atau mengkriminalisasi jurnalis atau media massa yang melakukan peliputan persidangan dengan melakukan tugas dan kode etik profesinya.

Perihal delik penodaan agama pada RKUHP, disikapi oleh PBNU dengan memberi catatan bahwa sebaiknya delik ini tidak sebatas mengatur mengenai penodaan terhadap agama saja, tetapi juga penodaan terhadap aliran kepercayaan yang dianut di Indonesia. Mengenai penggelandangan, PBNU memahami adanya Putusan MK No.29/PUU-X/2012, meski begitu mereka tetap berpendapat jika delik ini hendak dipertahankan maka negara terlebih dahulu wajib menjalankan tanggung jawabnya. Setidaknya menyediakan tempat penampungan bagi fakir miskin dan anak terlantar yang tidak memiliki tempat tinggal.

“Kemudian isu tentang pengguguran kandungan, sikap PBNU adalah setuju dengan catatan. Delik pengguguran kandungan harus dikecualikan untuk tindakan pengguguran yang dilakukan dengan alasan menghindarkan mudharat karena adanya kedaruratan medis yang menimbulkan fatalitas bagi ibu dan/atau janin; (atau) adanya trauma bagi calon ibu yang merupakan korban tindak pemerkosaan,” terangnya.

Berkenaan dengan delik perzinahan, PBNU memandang sebaiknya pengadu dalam delik tersebut dibatasi hanya suami atau istri yang sah saja. Adapun pembuktian dilakukan dengan alat bukti yang sah dan kuat dan tidak berdasarkan keterangan saksi yang mendengar dari orang lain. Sedangkan untuk pemerkosaan, PBNU mengusulkan rumusan delik pemerkosaan terhadap anak tidak perlu ‘menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan’ bila dibuktikan pelaku orang dewasa mengetahui atau patut diduga mengetahui yang disetubuhinya anak di bawah umur.

Perwakilan Pimpinan Pusat Sarekat Islam (PP SI) yang turut menghadiri kesempatan itu menyampaikan sikap terhadap sejumlah isu pasal-pasal RKUHP. Berkaitan pidana mati yang sesungguhnya dianut oleh hukum Islam dengan tujuan preventif dalam hal ini terhadap musuh negara dan pengkhianat negara. Seperti pengedar obat-obatan terlarang; pelaku kejahatan korupsi yang menurut hukum Islam adalah kejahatan berat, sehingga patut dikenakan pidana mati. Demikian pula dengan pelaku tindak pidana kejahatan berencana.

Perihal contempt of court berkaitan dengan publikasi secara langsung persidangan pengadilan, PP SI mengusulkan untuk dihapus. Pasal penodaan agama disebut perlu perhatian dalam menetapkan jangkauan rumusan pidananya baik dalam bentuk, jenis perbuatan, bentuk akibat, serta pelakunya. Lalu rumusan pidana penganiayaan hewan perlu disikapi dengan memperhatikan jenis-jenis hewan yang dianiaya yang masuk kategori tindak pidana.

Sedangkan untuk rumusan penggelandangan sebagai bentuk tindak pidana perlu dilihat dari dua aspek. Ia menyebutkan yang perlu dirumuskan sebagai perbuatan pidana ialah penggelandangan sebagai mata pencaharian yang melanggar berbagai norma hukum.

“Kami sepakat dengan semangat meninggalkan (produk hukum hasil) kolonialisme Belanda menjadi asas legalitas dengan ciri khas kebudayaan Indonesia,” ujar perwakilan Pengurus Pusat Persatuan Islam (PP PERSIS), KH. Yudi Wildan.

Hukumonline.com

Perwakilan Pengurus Pusat Persatuan Islam (PP PERSIS), KH. Yudi Wildan. 

Beberapa pandangan PP PERSIS antara lain menyoroti soal Pidana Mati. Meski setuju, mereka mengusulkan untuk Pasal 100 dan 101 dihapus dengan alasan standar yang diberlakukan 10 tahun itu tidak tetap dan kemungkinan multi-interpretative. Selanjutnya, Pasal RKUHP mengenai penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden diusulkan untuk dihapus dengan berbagai catatan. Salah satunya, pasal ini mencederai semangat reformasi dan mengulang lagi orde baru karena rentan multi tafsir.

“Tentang penodaan agama, kami setuju dan tetap dalam hal ini perlindungan terhadap entitas yang berkembang dan kepercayaan yang tumbuh di kalangan rakyat Indonesia. Pasal ini juga dapat menjaga ketertiban dan menghindari konflik horizontal dan perbuatan main hakim sendiri. Karena kami yakin bangsa Indonesia tidak dapat dilepas dari identitas keagamaan. Oleh karena itu, kesucian agama dan penganut agama harus dilindungi,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait