Sejumlah Masukan untuk Pengembangan Praktik Pengadilan HAM
Berita

Sejumlah Masukan untuk Pengembangan Praktik Pengadilan HAM

Seperti menyusun standar pembuktian yang disepakati bersama. Perlu peningkatan pengetahuan dan pemahaman pada Komnas HAM, Kejaksaan, dan Pengadilan tentang kerangka hukum kejahatan HAM berat, teknis investigasi, pembuktian, penuntutan, dan interpretasi hukum.

Aida Mardatillah
Bacaan 5 Menit

Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Dian rositawati menilai proses penanganan pelanggaran HAM di pengadilan kurang mendapat keadilan bagi korban. Biasanya dalam pertimbangan hakim terdapat kegagalan membuktikan adanya pertanggungjawaban komando, kegagalan membuktikan unsur sistematis atau meluas.

“Peristiwanya dinilai bersifat spontan, tidak dapat dibuktikan adanya serangan pada populasi sipil yang terkait dengan kebijakan penguasa atau organisasi,” kata Dian menerangkan.  

Belajar dari persidangan kasus Timor Timur, Abepura, dan Tanjung Priok, dia melihat lemahnya strategi penuntutan ketika membuktikan unsur-unsur kejahatan yang didakwakan. Selain itu, terdapat bukti-bukti yang telah diidentifikasi dalam laporan KPP HAM, tetapi tidak disajikan di muka persidangan. Lalu, beragamnya pemahaman interpretasi hukum mengenai unsur-unsur kehatan pelanggaran HAM berat dan cara pembuktiannya dan lemahnya mekanisme perlindungan saksi dan antisipasi terhadap intimidasi saksi di pengadilan.

“Belajar dari beberapa kasus tersebut pentingnya pemahaman unsur-unsur pelanggaran HAM berat, pentingnya laporan KPP HAM yang berkualitas, pentingnya strategi penuntutan,” lanjutnya.  

Dalam penanganan kasus pelanggaran HAM di pengadilan, Dian menyarankan perlu menjembatani perbedaan pendapat yang tajam antara Komnas HAM dan Kejaksaan. Misalnya, dengan menyusun standar pembuktian yang disepakati bersama, membangun mekanisme koordinatif melakukan pelatihan gabungan. “Perlu peningkatan pengetahuan dan pemahaman pada Komnas HAM, Kejaksaan, dan Pengadilan tentang kerangka hukum kejahatan HAM berat, teknis investigasi, pembuktian, penuntutan, dan interpretasi hukum,” sarannya.

“Perlu mekanisme perlindungan saksi secara efektif termasuk proses persidangan, pengakuan elektronik evidence, dan keamanan persidangan. Ini juga butuh penyempurnaan UU No. 26 Tahun 2000, seperti kualifikasi kejahatan atau pelanggaran HAM, jangka waktu penyidikan.”  

Untuk diketahui, UU HAM mengatur tentang pengadilan pelanggaran HAM berat. Pasal 104 UU HAM menjelaskan pengadilan HAM dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM berat. Pengadilan HAM secara khusus diatur melalui UU Pengadilan HAM. Pengadilan HAM berkedudukan di kabupaten atau kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.

Tags:

Berita Terkait