Sejumlah Potensi Problem Sektor Sumber Daya Alam Akibat UU Cipta Kerja
Berita

Sejumlah Potensi Problem Sektor Sumber Daya Alam Akibat UU Cipta Kerja

Lewat UU Cipta Kerja, pemerintah mengobral kekayaan alam Indonesia secara cuma-cuma melalui kelonggaran royalti hingga 0%.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 5 Menit
Suasana pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang di DPR, Senin (5/10). Foto: RES
Suasana pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang di DPR, Senin (5/10). Foto: RES

Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang dilakukan oleh DPR, Senin (5/10) lalu terus menuai kritik dari berbagai pihak. Di tengah desakan yang terus bermunculan dari publik agar pengesahan UU ini dibatalkan, sejumlah masyarakat sipil menilai UU Cipta Kerja memiliki dampak buruk kepada sektor tata kelola Sumber Daya Alam (SDA).

Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyebutkan sejumlah catatan di sektor SDA terkait UU ini. Di sektor pertambangan minerba misalnya, UU ini dinilai hanya memberikan stempel terhadap pengesahaan UU No.3 Tahun 2020 (UU Minerba) yang secara prosedur dan substansinya tidak kalah bermasalah dan juga mengundang kritikan dan penolakan dari publik.

Praktis UU Cipta Kerja dipandang mengamini seluruh perubahan yang terdapat dalam UU Minerba saat ini dan hanya menyisipkan 1 (satu) pasal yaitu pasal 128A tentang pemberian intensif kepada pengusaha tambang dan mengubah 1 (satu) pasal lainnya, yaitu pasal 162 tentang pengaturan pidana terhadap pihak yang mengganggu kegiatan usaha pertambangan.

Pasal 128 A yang disisipkan dalam UU Cipta Kerja merupakan suatu pemberian insentif berlebihan yakni berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen) bagi pengusaha batubara yang melakukan kegiatan peningkatan nilai tambang, dimana pengaturannya akan diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP). Patut dicatat, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengusahaan Pertambangan yang saat ini digodok pemerintah pun tak luput dari kontroversi.

“Pengenaaan royalti sebesar 0% (nol persen) ini diperhitungkan akan berdampak pada penurunan drastis Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba ke daerah,” ungkap Koordinator Nasional PWYP, Aryanto Nugroho dalam keterangannya kepada hukumonline, Kamis (8/10). (Baca Juga: Begini Klarifikasi Pemerintah Terkait UU Cipta Kerja)

Selain itu, terdapat pasal 162 dalam UU Cipta Kerja yang merupakan pasal yang dapat meningkatkan potensi terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat sekitar tambang maupun pegiat lingkungan. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan konflik-konflik baru antara masyarakat yang tidak setuju dengan adanya aktivitas pertambangan di suatu wilayah yang dianggap merugikan meski sudah mendapatkan izin.

Kemudian UU Cipta ini juga diduga mendukung pemberian pengistimewaan bagi pemegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan (KK/PKP2B) yang masa kontraknya akan habis; mendukung hilangnya pasal pidana yang dapat menjerat pejabat negara dalam menerbitkan izin pertambangan minerba bermasalah; memberikan insentif berlebihan bagi eksploitasi SDA tanpa memperhatikan aspek kepentingan ekologis dan perlindungan lingkungan hidup, serta pengembangan energi terbarukan dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Oleh karena itu, Aryanto menilai tata kelola SDA di Indonesia akan semakin bernasib buruk dengan hadirnya sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja terutama ketentuan yang mereduksi kewenangan pemerintah daerah, serta menghilangkan tanggungjawabnya dalam hal pembinaan dan pengawasan aktivitas pertambangan di masing-masing wilayahnya.

“Penarikan kewenangan perizinan dari daerah ke pusat ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang selama ini dikembangkan, dan berpotensi menggiring Indonesia menuju negara yang sentralistik,” terang Asyanto.

Menurut Asyanto, omnibus law yang seharusnya dirancang untuk memberi kepastian hukum, justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dengan banyaknya aturan turunan yang akan dibuat melalui Peraturan Pemerintah (PP). Dirinya menyebut, pengalaman menunjukkan bahwa terdapat aturan dalam bentuk PP yang ditengarai berpotensi melanggar UU, seperti misalnya PP di sektor ESDM yang memberikan kelonggaran (relaksasi) atas kewajiban larangan ekspor dan pembangunan fasilitas hilirisasi bagi pertambangan Minerba yang dianggap bertentangan dengan UU No.4 Tahun 2009.

Apalagi, UU Omnibus Law ini hanya memberikan waktu kepada Pemerintah untuk menyelesaikan seluruh PP dan Peraturan Presiden sebagai aturan turunannya dalam waktu 3 bulan saja sebagaimana yang diatur dalam Pasal 185.

Tidak hanya itu, UU Cipta kerja juga telah mengubah instrumen environmental saveguard seperti AMDAL atau UKP-UPL sebagai syarat resmi menjadi persetujuan lingkungan yang hanya perlu mencantumkan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup bagi pelaku usaha berpotensi menimbulkan masalah baru; mereduksi norma pertanggungjawaban mutlak dan pertanggungjawaban pidana korporasi; menghapus hak masyarakat sipil dan organisasi pemerhati lingkungan untuk melakukan gugatan terkait kerusakan lingkungan, dan tidak adanya penegasan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses informasi kelayakan lingkungan hidup dengan mudah.

Karena itu Aryanto menyimpulkan bahwa pasal-pasal bermasalah dalam UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan ini tidak hanya akan berdampak negatif pada sektor SDA, melainkan di banyak sektor lainnya. Sehingga, sejalan dengan gelombang kritik publik yang terus disuarakan oleh berbagai kalangan.

“PWYP Indonesia menyatakan menolak UU Cipta Kerja dan mendesak Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terhadap UU tersebut demi memastikan tata kelola SDA yang lebih baik di kemudian hari,” pungkas Aryanto.

Royalti

Sementara itu, Iqbal Damanik dari Auriga Nusantara menilai ketentuan Pasal 128 A UU Cipta Kerja merupakan karpet merah pada para pengusaha tambang karena merevisi ketentuan royalti Undang-Undang Minerba. Menurut Iqbal, lewat dalam UU Cipta Kerja, pemerintah mengobral kekayaan alam Indonesia secara cuma-cuma melalui kelonggaran royalti hingga 0%.

Menurut Iqbal, saat negara menghadapi resesi ekonomi, rakyat kehilangan pekerjaan dan meregang nyawa karena pandemi yang tak kunjung usai, Presiden Jokowi dan DPR RI justru memilih memberi talangan (bailout) dengan menyelamatkan pebisnis tambang batubara. Bailout itu difasilitasi dalam UU Cipta Kerja di paragraf 5 klaster energi dan sumber daya mineral Pasal 128A yang menyebutkan kelonggaran pembayaran royalti kepada pemerintah.

“Pemberian royalti 0% sama dengan memberikan batubara secara cuma-cuma kepada pengusaha batubara, mengkhianati amanat UUD ’45 bahwa sumber daya alam digunakan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” ujar Iqbal.

Ia menambahkan, insentif ini akan mendorong laju eksploitasi besar-besaran yang beriringan dengan semakin hancurnya ruang hidup dan lingkungan yang tidak layak huni. Situasi ini bertentangan dengan niat pemerintah Indonesia yang membatasi produksi batubara yang dituangkan dalam RPJMN.

Sejak tahun lalu sebelum pandemi, sejumlah perusahaan batubara besar sudah mengalami kesulitan keuangan, dengan utang jatuh tempo pada 2020, 2021, dan 2022. Moody’s Investor Services mencatat total utang perusahaan-perusahaan tersebut mencapai USD 2,9 miliar atau sekitar Rp 42 triliun yang akan jatuh tempo pada 2022 saja. Utang tersebut berbentuk kredit perbankan maupun obligasi.

Sementara melalui UU Cipta Kerja dan dengan menunggangi pandemi, kewajiban perusahaan untuk menyetorkan royalti kepada pemerintah akan diberikan diskon hingga 100%. Artinya, relaksasi royalti ini akan menyebabkan negara kehilangan potensi pemasukan hingga USD 1.1 miliar dan USD 1.2 miliar dari pajak yang ditarik pada 2019 dari 11 perusahaan batubara.

“Semua ini terjadi karena legislasi UU Cipta Kerja ini sudah tersandera dalam konflik kepentingan, para aktor oligarki politik dan bisnis dalam parlemen sudah bercampur-baur. Sebanyak 50 persen isi anggota DPR dan pimpinannya juga terhubung dengan bisnis batubara,” ungkap Merah Johansyah dari JATAM Nasional.

Diskon royalti hingga 100% ini  dianggap akan menguntungkan perusahaan tambang, sebaliknya hal ini sama saja menggratiskan batubara demi menyelamatkan pengusaha, sementara bagi penerimaan negara dan daerah yang selama ini bergantung pada batubara akan turun drastis. Di saat yang sama, eksploitasinya justru terjadi di daerah, aturan ini juga akan memicu perluasan kerusakan, pencemaran lingkungan seperti lubang tambang dan pengusiran masyarakat dari tanahnya sendiri, biaya pemulihan lenyap dan dana tidak ada karena perusahaan tambang yang diberi diskon royalti, negara dan lingkungan buntung.

“Material atau sumber daya alam ini ada di daerah, dengan adanya izin tambang seumur tambang, dan royalti 0%, maka daerah hanya akan mendapat lubang tambang dan bencana saja. Ini sama saja negara kita dikangkangi investor,” tutup Kisworo Dwi Cahyono, dari WALHI Kalimantan Selatan.

Tags:

Berita Terkait