Sejumlah Usulan dalam RUU Hukum Acara Perdata Agar Ramah Disabilitas
Terbaru

Sejumlah Usulan dalam RUU Hukum Acara Perdata Agar Ramah Disabilitas

Draf RUU HAP dinilai masih minim perspektif disabilitas. Seperti penggunaan istilah yang tidak ramah dan kurangnya definisi yang jelas untuk beberapa istilah terkait disabilitas.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Keenam, dalam Pasal 18 perlu menambahkan penyediaan suratpanggilan kepada para pihak yang aksesibel apabila ditujukan kepada pihak yang merupakan penyandang disabilitas netra. Ketujuh, diantara Pasal 63 dan 64, hakim ketua harus memastikan penyandang disabilitas yang menjadi pihak didampingi oleh Pendamping Disabilitas.

Selanjutnya soal kesaksian. Menurut Fajri, penyandang disabilitas berhak diposisikan/diperlakukan sama dan setara di hadapan hukum. Seperti wajib mematuhi panggilan pengadilan menjadi saksi dalam persidangan. Baginya, kesaksian dari penyandang disabilitas bakal membantu hakim melakukan pembuktian dan menjatuhkan putusan sesuai rasa keadilan.

Karenanya, perlu adanya dukungan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas agar dapat memberikan informasi secara mandiri dan sebenar-benarnya tanpa ada hambatan. Dia menilai kesaksian penyandang disabilitas tak hanya didapat dari aktivitas melihat, mendengar dan merasakan, tapi dapat berasal dari indera lain, seperti mencium, meraba, dan/atau mengecap.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu juga mengusulkan adanya penambahan cara lain selain “tanda tangan” sebagai tanda persetujuan sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 ayat (1). Kemudian, menghapus kategori “orang gila, walaupun walaupun kadang-kadang dapat berpikir sehat” dalam kelompok orang yang tidak boleh bersaksi dalam Pasal 129 huruf e. Selanjutnya, mengubah istilah “saksi bisu tuli” menjadi “penyandang disabilitas rungu wicara” dalam Pasal 145 ayat (1). Dalam Pasal 145 ayat (3) menambahkan penyediaan “juru bahasa isyarat” untuk memenuhi kebutuhan saksi penyandang disabilitas rungu wicara.

Usulan lain, soal penggantian judul bagian kedua puluh menjadi “pengampuan”. Begitu pula menghapus frasa “keterbelakangan mental atau sakit jiwa” dalam Pasal 340. Selanjutnya menambahkan kewajiban kepada Ketua Pengadilan untuk memastikan disiapkannya akomodasi yang layak bagi termohon dalam menghadiri persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 341.

Fajri juga mengusulkan penambahan kewajiban bagi majelis hakim untuk memastikan kondisi termohon siap memberikan keterangan secara mandiri. Bila kondisi termohon tidak memungkinkan menyampaikan keterangan, majelis hakim harus menunda persidangan dan memerintahkan keluarga termohon memberi pengobatan atau dukungan diperlukan agar termohon dapat kembali pada kondisi dapat mengambil keputusan secara mandiri dalam Pasal 341.

Begitu pula soal keterangan dari “termohon” atau “orang yang akan ditempatkan di bawah pengampuan” dalam dasar putusan permohonan sebagaimana dalam Pasal 342. Tak kalah penting masih dalam Pasal 342, putusan permohonan pengampuan harus mencantumkan batasan ruang lingkup keberlakuan dan jangka waktu.

Peneliti STH Indonesia Jentera, Johanna Poerba menambahkan RUU HAP perlu memberikan ruang akses keadilan bagi disabilitas dan kelompok rentan. Sebab, substansi RUU tersebut masih belum ramah terhadap kelompok disabilitas dan rentan lainnya. Seperti penggunaan istilah yang tidak ramah dan kurangnya definisi yang jelas untuk beberapa istilah terkait disabilitas.

Namun memang terdapat terobosan dalam RUU. Seperti konsep saksi perantara, fasilitas pemeriksaan menggunakan huruf braille, dan ahli perantara untuk menerjemahkan huruf braille. Karenanya terhadap materi dan substansi perlu mendapat banyak perbaikan access to justice bagi disabilitas dan kelompok rentan lainnya.

Tags:

Berita Terkait