Sejuta Alasan Perppu KPK Harus Diterbitkan
Utama

Sejuta Alasan Perppu KPK Harus Diterbitkan

Perppu merupakan sikap responsif presiden atas terjadinya gelombang penolakan berupa demonstrasi yang menimbulkan korban jiwa.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Para tokoh bangsa usai menyatakan sikap mengenai perlunya Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu KPK di Jakarta, Jumat (4/10). Foto: RES
Para tokoh bangsa usai menyatakan sikap mengenai perlunya Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu KPK di Jakarta, Jumat (4/10). Foto: RES

Desakan agar Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berkumandang. Tidak hanya elemen mahasiswa yang berdemonstrasi besar-besaran beberapa waktu lalu, tetapi para Penggiat Antikorupsi hingga sejumlah Tokoh Nasional juga menyatakan hal yang sama. 

 

Puncaknya, Presiden mengundang para tokoh nasional untuk memberikan masukan atas sejumlah tuntutan mahasiswa termasuk mengenai Perppu KPK. Dan hasilnya, Presiden menyatakan bahwa Perppu menjadi salah satu opsi yang dipertimbangkan.

 

Sayangnya, hingga kini rencana Presiden untuk mengeluarkan Perppu ditentang berbagai pihak termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurutnya, ada jalan lain yang masih bisa ditempuh oleh Presiden, salah satunya melalui jalur Mahkamah Konstitusi (MK).

 

“Ya kan ada jalan yang konstitusional yaitu judicial review di MK (Mahkamah Konstitusi). Itu jalan yang terbaik karena itu lebih tepat. Kalau Perppu itu masih banyak pro-kontranya,” katanya, Selasa (1/10).

 

Sejumlah partai koalisi juga ikut menyampaikan penolakannya. Salah satu yang cukup menjadi perhatian adalah pernyataan Surya Paloh yang awalnya mengatakan presiden dan partai pendukung memahami tuntutan masyarakat dan mahasiswa untuk menerbitkan Perppu KPK. 

 

Namun, menurut dia, sebagian dari mereka yang menuntut tak tahu bahwa UU KPK sudah diproses di MK. "Mungkin masyarakat dan anak-anak mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana (MK), presiden kita paksa keluarkan perppu, ini justru dipolitisasi. Salah-salah presiden bisa di-impeach (dimakzulkan) karena itu," ujarnya (2/10). 

 

Para tokoh yang diundang presiden untuk memberi masukan pun angkat bicara. Mereka menyerukan agar presiden tidak ragu mengeluarkan Perppu KPK karena memang sudah masuk dalam kategori kegentingan yang memaksa. 

 

Emil Salim, salah satu tokoh nasional yang diundang presiden menyatakan dari sejak era Presiden Soekarno pemerintah sudah mencoba melakukan upaya pemberantasan korupsi. Tetapi, hingga saat ini baru KPK yang memperlihatkan kerja nyata setelah dibentuk pada 2002 lalu. 

 

"Selama KPK berdiri 2002-2019, ditangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), beberapa menteri, gubernur, macam-macam pejabat, ini hal yang tidak pernah terjadi sejak bangsa kita berdiri," terangnya di Jakarta, Jumat (4/10).

 

Menyadari prestasi yang dilakukan KPK, para tokoh, kata Emil merasa perjuangan memberantas korupsi harus diteruskan dilanjutkan demi kebersihan aparatur negara. Oleh karena itu usaha anggota DPR yang dianggap ingin memperlemah KPK dengan mengebiri sejumlah kewenangan dalam RUU KPK harus ditolak.  

 

"Kami minta mengusulkan agar dikeluarkan Perppu untuk mengubah RUU KPK. Kami mendukung Presiden menolak RUU KPK dengan sepenuh tanggungjawab tidak ada kepentingan apa-apa, kepentingan satu-satunya Indonesia yang bersih bebas dari korupsi supaya rakyat bisa menikmati," pungkasnya. 

 

Mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki merespon pernyataan Surya Paloh yang menyatakan presiden bisa dimakzulkan jika mengeluarkan Perppu. Menurutnya, pernyataan itu tidak mendasar karena pengeluaran Perppu konstitusional dan merupakan hak subyektif Presiden Joko Widodo. 

 

“Surya Paloh bilang kalau presiden keluarkan perppu ada impeachment, perppu konstitusional dan itu hak presiden. Hak DPR satu, kewajiban pemerintah serahkan perppu DPR punya dua pilihan menerima atau menolak. Impeachment itu bisa dilakukan kalau presiden menerima suap atau melakukan tindak pidana, dan itu pun tidak mudah ada proses lainnya," pungkasnya. 

 

Menurut Ruki prestasi KPK dari semenjak dibentuk hingga kini terus berkembang, termasuk memproses para pimpinan lembaga tinggi negara baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dan dari proses tersebut sebenarnya merevisi UU KPK memang bisa dilakukan jika melihat zaman yang terus berkembang. 

 

Ia pun ketika memimpin KPK pernah ingin mengusulkan adanya hal yang harus direvisi. Tetapi niat itu diurungkan karena dikhawatirkan DPR revisi itu bukan untuk memperkuat, tetapi justru memperlemah KPK. Dan benar saja hal itu pun kini menjadi kenyataan. 

 

Ruki mengakui KPK memang masih mempunyai banyak kelemahan, tetapi jika kelemahan itu disebabkan oleh oknum tertentu maka yang diperbaiki hanya oknum saja, bukan malah menyasar lembaga. "Kalau ada tikus di lumbung kenapa lumbungnya yang dibakar, tikusnya aja yang ditangkap," pungkasnya. 

 

Senada dengan Ruki, Bivitri Susanti juga mengaggap pernyataan Paloh soal presiden bisa dimakzulkan kalau mengeluarkan Perppu tidak berdasar. Ia menganggap Perppu merupakan kewenangan subyektif presiden sehingga jika sama sekali tidak bertentangan dengan konstitusi. 

 

"Isunya mengeluarkan perppu bisa di-impeach, intinya subyektif jika presiden menganggap ada kegentingan Perppu bisa dilakukan. Kalau inkonstitusional itu seperti Presiden Gus Dur dimakzulkan MPR dulu, tapi kini impeachment tidak bisa dilakukan MPR, dia hanya bisa dikenakan pasal 7 a melakukan kejahatan, dibawa dulu ke MK. Sejak 2002 sudah tidak ada lagi presiden bisa dimakzulkan kalau keluarkan Perppu," jelasnya.

 

Baca:

 

Pandangan lain

Tidak semua pihak ternyata mendukung Presiden mengeluarkan Perppu. Ada sejumlah pihak lain yang menganggap presiden seharusnya menandatangani RUU KPK yang sudah disahkan bersama demi memperkuat fungsi pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan mempertimbangkan hak asasi manusia (HAM).

 

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita menganggap melalui UU KPK yang baru ini, upaya pemberantasan korupsi dengan memperhatikan hak asasi manusia bisa lebih terwujud. Salah satu contohnya dengan adanya kewenangan menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).

 

Selain itu kehadiran Dewan Pengawas (Dewas) untuk memberi izin dilakukannya penyadapan kepada seseorang yang terindikasi melakukan kasus korupsi juga dianggap tepat untuk mengurangi adanya kesewenang-wenangan oknum di KPK dalam melakukan penyadapan terhadap seseorang. 

 

"Pemerintah tidak perlu ragu untuk menandatangani revisi UU ini karena UU yang baru lebih baik daripada yang lama, revisi ini sebenarnya lebih maksimal daripada KPK dibubarkan," kata Romli saat diskusi di Jakarta, Jumat (4/10).

 

Dalam UU KPK yang baru, tidak ada satupun tugas KPK yang dikurangi, malah tugas KPK menjadi bertambah dengan adanya fungsi pertimbangan HAM. KPK juga tidak perlu khawatir dengan hadirnya dewan pengawas, karena semua badan/lembaga di Indonesia termasuk Presiden juga diawasi, yang paling penting diperhatikan adalah aturan main dewas yang akan berlaku. Menurut Romli bila fungsi dewas tidak maksimal, KPK perlu dibubarkan daripada menghabiskan anggaran negara tanpa memberi hasil maksimal atas pengembalian aset negara dari kasus korupsi serta upaya pencegahan korupsi di Indonesia. 

 

Ahli Hukum Pidana Luhut MP Pangaribuan mengatakan, revisi UU ini memiliki politik hukum yang lebih baik dibanding UU lama yang banyak bertentangan/melanggar HAM. Protes yang diberikan oleh masyarakat tidak perlu dengan melakukan demonstrasi ataupun kericuhan karena ada 3 proses yang bisa ditempuh yakni mekanisme judicial review ke mahkamah konstitusi (MK), legislatif review atau menerbitkan Perppu. 

 

“Dengan melihat kondisi yang berkembang saat ini, bila ada pihak-pihak yang tidak menerima revisi UU ini, lakukan saja judicial review, pemerintah tidak perlu menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres),’’ ujar Luhut. 

 

Anggota DPR-RI dari Fraksi PKS Nasir Djamil menuturkan, revisi UU KPK ini sebenarnya sudah berkali-kali ingin dilakukan oleh DPR, serta sudah mengundang beberapa tenaga ahli yang berkompeten sehingga UU ini sebenarnya tidak dikeluarkan terburu-buru dengan agenda tertentu. Namun setiap kali pembahasan revisi ingin dilakukan, selalu mengundang protes karena dinilai melemahkan KPK. 

 

Stigma ini sering kali dimunculkan untuk membangun narasi yang tidak ilmiah. Nasir menyarankan ke depan perlu adanya kriteria terhadap panitia seleksi dan juga calon anggota komisioner KPK, sehingga tidak ada kecurigaan bila anggota pansel maupun calon komisioner mewakili orang/partai tertentu, jadi semuanya menjadi lebih transparan dan lebih dipercaya publik.

 

"Kita adalah negara hukum yang demokratis, sehingga bila ada pandangan yang tidak sejalan, silakan melalui judicial review. Kita tidak tergesa-gesa untuk mengesahkannya UU ini, kita masih punya waktu untuk mendengarkan masukan masyarakat demi KPK yang lebih baik," tuturnya. 

 

Tenaga Ahli Kantor Staff Kepresidenan Ali Mochtar Ngabalin, revisi UU KPK ini telah diputuskan oleh DPR yang adalah perwakilan seluruh rakyat Indonesia, sehingga UU ini adalah wajah Republik Indonesia. Kehadiran UU KPK menjadi barometer untuk memasuki reformasi hukum Indonesia, sehingga pejabat negara tidak lagi memperkaya diri sendiri dengan menggunakan jabatannya. 

 

Revisi UU KPK ini adalah momentum untuk memperkuat kelembagaan KPK untuk memberi azas kepastian hukum, meningkatkan azas manfaat dan memberikan azas keadilan. "UU ini sudah menjadi keputusan seluruh rakyat Indonesia, ketika ada masukan dari masyarakat, kami masih membuka ruang untuk berdialog. Presiden Jokowi tidak tergesa-gesa untuk mengambil keputusan untuk Indonesia yang lebih kuat, negara tidak boleh kalah karena ditekan," imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait