Sejuta Nestapa Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut Anak Mencari Keadilan
Feature

Sejuta Nestapa Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut Anak Mencari Keadilan

Sejak kasus GGAPA mencuat pada Juli 2022, pemerintah belum melakukan pendekatan apapun kepada ratusan korban. Saat ini mereka mempertanyakan rasa empati pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab atas tragedi ini. Masihkah Negara memiliki hati nurani?

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 10 Menit
Sejuta Nestapa Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut Anak Mencari Keadilan
Hukumonline

Suara histeris Safitri Puspa Rani menggema di dalam ruangan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) saat mendapati sang putra bungsu, Panghegar Bhumi Al Abrar Nugraha, menghembuskan nafas terakhir setelah divonis menderita Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) pada anak. Hegar, nama panggilan sang anak, dinyatakan meninggal oleh tim dokter RSCM pada pukul 05.55 WIB, Sabtu, 15 Oktober 2022 silam.

Kepergian Hegar meninggalkan luka yang mendalam bagi Safitri. Meski sudah lima bulan berlalu, Safitri masih berada dalam suasana duka. Dia masih tak percaya bahwa Tuhan akan menjemput Hegar secepat ini. Safitri mengungkapkan jika dia tak percaya akan takdir Tuhan, mungkin dia sudah kehilangan kewarasannya. “Saya hanya percaya ini sudah takdir Allah, jika tidak pasti saya akan memilih ikut terkubur bersama anak saya,” ucapnya saat wawancara bersama Hukumonline, Rabu (29/3).

Menjelang berbuka puasa dan diiringi derasnya hujan, Safitri mencoba tegar saat mengisahkan kembali kronologis kepergian Hegar. Bermula dari demam yang terus berulang sejak 26 September, hingga dokter menyatakan Hegar menderita GGAPA pada 5 Oktober 2022. Sepuluh hari kemudian, kondisi kesehatan Hegar sudah sangat memprihatinkan. Sekujur tubuh mungilnya tertempel dan tertanam bermacam alat medis untuk menunjang kehidupan Hegar karena seluruh organ dalam tubuhnya yang sudah meradang dan terinfeksi racun yang tidak keluar lewat berkemih. Kenyataan itu memukul mental dan psikis ibu Safitri, terutama saat dia melihat bagaimana penderitaan dan kesakitan yang dirasakan Hegar saat berjuang melawan komplikasi yang menggerogoti seluruh organ tubuhnya.

Sejak masuk ke dalam ruang perawatan PICU RSCM, Hegar terus mengalami pendarahan dari seluruh rongga tubuhnya. Dokter pun melakukan dua kali cuci darah kepada Hegar dan beberapa tindakan lainnya seperti membolongi paru-paru untuk mengeluarkan cairan. Kepedihan Safitri kian bertambah saat mengetahui Hegar kehilangan fungsi saraf pada matanya yang berakibat mata tak bisa tertutup dan terus mengeluarkan air. “Akhirnya mata ditutup paksa, dan saat dibuka matanya sudah hampir keluar, merah dan sudah tidak simetris lagi,” cerita ibu anak dua ini sembari menghapus air mata yang terus mengalir di balik kacamatanya.

Baca Juga:

Beberapa jam sebelum kepergian Hegar, jiwa Safitri kembali terguncang. Di balik kulit sawo matang Hegar, tergambar bercak merah yang menandakan bahwa pembuluh darah pecah, bibir yang mengeluarkan busa karena keracunan dan bleeding parah yang membuat dokter enggan untuk melakukan restitusi dengan alasan tak etis. Sebagai seorang ibu, Safitri merasa hancur. Putra yang dia rawat selama delapan tahun lamanya harus meregang nyawa dengan cara yang memilukan.

“Sampai akhirnya di jam 5.55 WIB subuh, di situ saya masih berbisik, ayo dek, semangat. Sebentar lagi obatnya datang. Padahal saya tahu Dokter bilang nggak ada obatnya, saya bohong. Gak lama saya pindah ke kuping sebelah, terus saya bilang, ‘dede sekarang pilih, mau tetap di sini sama mama sama papa, atau dedek mau ke surga.’ Gak lama semua mesin EKG dan lainnya langsung semuanya angka nol. Sempat dipasang alat double cek, lalu di jam 5.55 WIB itu diputuskan bahwa memang sudah enggak ada,” tuturnya sedih.

Tags:

Berita Terkait