Sepanjang 2020, MA ‘Cetak’ Empat Kebijakan Terkait Penanganan Perkara
Utama

Sepanjang 2020, MA ‘Cetak’ Empat Kebijakan Terkait Penanganan Perkara

Selama tahun 2020, MA mengeluarkan empat kebijakan terkait teknis penanganan perkara melalui 2 Perma, 1 SK KMA, dan 1 SEMA.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Meski dalam kondisi pandemi Covid-19, sepanjang tahun 2020, Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan sejumlah kebijakan baik dalam bentuk surat keputusan (SK KMA), surat edaran (SEMA), dan Peraturan MA (Perma) dalam rangka mendukung pedoman pelaksanaan tugas baik pelaksanaan tugas administrasi maupun teknis peradilan/yudisial. Khusus pelaksanaan teknis peradilan selama tahun 2020, MA mengeluarkan empat kebijakan terkait teknis penanganan perkara melalui 2 Perma, 1 SK KMA, dan 1 SEMA. 

Berikut ini beberapa kebijakan MA Tahun 2020 yang berhubungan dengan pedoman penanganan perkara di pengadilan:

  1. Pencabutan Pembatasan Hak Kreditur Separatis Ajukan PKPU

Aturan ini tertuang dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA) No. 109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tertanggal 29 April 2020. Beleid ini, salah satunya mencabut SK KMA sebelumnya yakni SK KMA No. 3/KMA/SK/I/2020. SK yang lama membatasi hak kreditur separatis (pemegang hak jaminan kebendaan, red) untuk mengajukan PKPU, sehingga menimbulkan pro dan kontra.

Bagi yang kontra, pembatasan kreditur separatis ajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dinilai bertentangan dengan Pasal 222 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Pasal itu tegas memberi hak kepada debitur dan kreditur tanpa membedakan jenis kreditur untuk mengajukan PKPU. Dalam penjelasan Pasal 222 ditegaskan yang dimaksud kreditur yang berhak mengajukan PKPU adalah setiap kreditur baik konkuren dan preferen maupun separatis. Akhirnya, MA menjawab argumentasi ini dengan memberlakukan SK KMA No. 109 Tahun 2020 itu.

Tapi kebijakan ini tidak lepas kritikan. Aji Wijaya dari fima hukum GP Aji Wijaya berpendapat meskipun SKMA terdahulu yakni SK KMA No. 3 Tahun 2020 bertentangan dengan UU Kepailitan, sudah sepatutnya MA sebagai supreme court berani melakukan penemuan hukum (rechtsvinding), terlebih pada masa darurat seperti saat ini. Sebab, ada potensi pengajuan permohonan PKPU dan Pailit kepada para debitur secara besar-besaran akibat hambatan bisnis dalam masa pandemi Covid-19.

Dia menilai SK KMA No. 3 Tahun 2020, justru terobosan yang sangat membantu mengurangi arus permohonan Pailit/PKPU oleh kreditur separatis selama masa pandemi Covid-19. “Bisa dibayangkan, akhir 2020 dan sepanjang 2021 akan sangat banyak debitur yang dimohonkan Pailit atau PKPU. SKMA 109 sebuah kemunduran yang sangat disayangkan diterbitkan oleh Pak Hatta Ali saat injury time masa jabatannya,” kata Aji Wijaya beberapa waktu lalu. (Baca Juga: MA Cabut Larangan Kreditur Separatis Ajukan PKPU)

Praktisi Hukum Kepailitan, James Purba termasuk pihak yang awalnya mendukung SK KMA No. 3 Tahun 2020 dengan alasan urgensitas kreditur separatis mengajukan PKPU menjadi hilang karena hak-hak mereka sudah terjamin dengan adanya benda-benda yang dijaminkan. Cuma, pembatasan semacam itu penting dalam kondisi normal. Sebaliknya, di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, James justru mendukung langkah MA mencabut SK KMA No. 3 Tahun 2020 itu.  

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait