Sepanjang 2022 LBH Pers Tangani 44 Kasus
Terbaru

Sepanjang 2022 LBH Pers Tangani 44 Kasus

Kasus paling banyak soal ketenagakerjaan, pidana, PTUN, uji materi ke Mahkamah Konstitusi, dan sengketa pers.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Narasumber peluncuran Annual Report LBH Pers 2022 bertema 'Jurnalisme dalam Kepungan Represi', Rabu (11/1/2023). Foto: Istimewa
Narasumber peluncuran Annual Report LBH Pers 2022 bertema 'Jurnalisme dalam Kepungan Represi', Rabu (11/1/2023). Foto: Istimewa

Pers berperan penting dalam mengawal jalannya sistem demokrasi. Oleh karena itu kemerdekaan pers harus tetap terus dirawat dan dijaga. Namun ada banyak tantangan yang dihadapi untuk menjaga kebebasan pers. Pengacara publik LBH Pers, Mulya Sarmono, mengatakan sepanjang tahun 2022 organisasinya menangani 44 kasus yang berkaitan dengan pers.

Dari puluhan kasus itu paling banyak soal ketenagakerjaan (17 kasus), pidana (11 kasus), PTUN dan uji materi ke MK (masing-masing 4 kasus), sengketa pers (3 kasus), perdata (2 kasus) dan lainnya. “Sebanyak 59,1 persen kasus dinyatakan selesai dan 40,9 persen masih berjalan,” katanya dalam peluncuran Annual Report LBH Pers 2022 bertema "Jurnalisme dalam Kepungan Represi", Rabu (11/01/2023).

Banyaknya perkara ketenagakerjaan yang ditangani LBH Jakarta sepanjang tahun 2022 itu sejalan dengan banyaknya pengaduan yang diterima LBH Pers melalui Posko Pengaduan Ketenagakerjaan sebanyak 30 pengaduan. Dari 30 pengaduan itu 11 pengaduan merupakan perselisihan hak atau kepentingan yang diikuti pemutusan hubungan kerja (PHK). Misalnya, pekerja di sebuah stasiun TV nasional mengalami pengurangan hak berupa keterlambatan dan pencicilan pembayaran upah. Sehingga muncul hak bagi buruh menuntut perusahaan melakukan PHK.

Kemudian 10 pengaduan terkait perselisihan PHK. Misalnya terjadi PHK sepihak dengan alasan efisiensi karena rugi atau menghindari kerugian, perintah pengunduran diri, serta kompensasi sebagai akibat PHK. Ada 8 aduan terkait perselisihan hak, baik penundaan pembayaran upah, pemotongan upah, pencicilan upah, atau tidak membayar upah sama sekali. Aduan lainnya terkait perselisihan hak dan kepentingan sebanyak 1 kasus.

Pekerja yang mengadukan persoalan ketenagakerjaan itu sebagian besar dari media tv karena dinilai paling terdampak pandemi Covid-19. Dari 30 pengaduan itu 20 dari media tv, media konvergensi cetak dan digital 6 pengaduan, media digital 2 pengaduan dan pekerja non media 2 pengaduan.

Sepanjang tahun 2022 LBH Pers mencatat 51 peristiwa kekerasan terhadap pers baik diarahkan kepada media, jurnalis, narasumber, aktivis pers, dan mahasiswa yang menjalankan kegiatan jurnalistik. Dari kasus tersebut terdapat 113 korban individu dan organisasi. Data tersebut sesuai dengan laporan Reporters Without Borders (RSF) yang menyebut Indonesia mengalami penurunan indeks kemerdekaan pers dibanding tahun lalu.

LBH Pers mencatat ancaman verbal terhadap wartawan yang menjalankan peliputan masih mendominasi bentuk serangan terhadap jurnalisme. Setidaknya terjadi 20 kasus intimidasi atau ancaman verbal sepanjang 2022. Lalu penganiayaan juga merupakan bentuk kekerasan yang paling banyak dialami wartawan dengan 15 peristiwa.

Tahun 2022 tercatat kekerasan lebih banyak terjadi ketika wartawan atau media meliput isu kebijakan pemerintah pusat atau daerah, termasuk pada tingkat legislatif dengan angka sembilan kasus. Isu kekerasan seksual juga cukup sensitif dan berisiko bagi wartawan dan media dengan data tujuh kasus kekerasan. Selanjutnya tujuh kasus terjadi saat wartawan atau media meliput isu kriminal, dan masing-masing lima kasus pada isu korupsi dan isu lingkungan.

Mulya mencatat setidaknya ada 6 tantangan pers ke depan. Pertama, serangan digital, sebagai upaya membungkam kemerdekaan pers. Kedua, pers dalam bayang-bayang hukum yang represif seperti terbitnya KUHP dan UU PDP. Ketiga, persoalan ketenagakerjaan dan kesenjangan pekerja media.

Keempat, pembredelan lembaga pers mahasiswa dalam kampus. Kelima, ancaman terhadap pers di tahun politik. Keenam, LBH Pers menghadirkan terobosan untuk memperluas akses bantuan hukum dengan meluncurkan situs Legal Aid Portal Indonesia.

Pada kesempatan yang sama anggota Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengatakan secara umum saat ini kemerdekaan pers di Indonesia tidak dalam keadaan baik. Antara lain terbitnya UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP dimana sebelumnya Dewan Pers telah menyoroti 17 pasal yang berpotensi mengkriminalisasi jurnalis dan berdampak pada kemerdekaan pers. Sayangnya usulan Dewan Pers tidak mendapat respon sebagaimana diharapkan sampai RUU KUHP disahkan menjadi UU.

“Itu bagian dari kemunduran proses regulasi karena bukan hanya substansi yang tidak sejalan dengan konstitusi, proses penyusunannya tidak mengedepankan asas partisipasi,” urai Ninik.

Ninik berharap jangka waktu 3 tahun penerapan KUHP diharapkan bisa memberikan peluang perbaikan terhadap substansi yang disorot Dewan Pers. Perlu dibuka ruang diskusi untuk melihat pasal mana yang berpotensi mengkriminalisasi pers dan kerja jurnalistik serta harus diharmoniskan dengan UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers.

Ketua Departemen HTN Fakultas Hukum Univetrsitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menilai KUHP ikut menekan kebebasan pers. Tak hanya itu, Indonesia juga punya persoalan dalam hal kebebasan berserikat dan berkumpul serta menyampaikan pendapat secara lisan dan tulisan.

“Kita memang tidak dalam kondisi yang baik-baik saja, seharusnya ada langkah alternatif yang bisa ditempuh. Langkah alternatif itu tak hanya perlawanan terhadap menyempitnya ruang publik,” kata Zainal Arifin Mochtar secara daring.

Evaluasi terhadap KUHP merupakan kewajiban yang harus dilakukan pemerintah, tapi Zainal juga menyebut beleid itu perlu diuji ke MK. Pengujian itu untuk membuka diskusi yang lebih luas di masyarakat terhadap KUHP.

Tags:

Berita Terkait