Sepenggal Cerita Notaris Kala Terbelit Masalah Pidana
Feature

Sepenggal Cerita Notaris Kala Terbelit Masalah Pidana

Dari tataran regulasi, UUJN sudah cukup memberikan perlindungan kepada notaris yang berhadapan dengan masalah pidana. Persoalannya justru muncul pada tahap implementasi, di mana tak semua aparat penegak hukum memahami konsep UUJN secara menyeluruh. Hal ini memunculkan kekhawatiran tersendiri bagi para notaris kala harus menghadapi panggilan dari aparat penegak hukum.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 8 Menit

“Saya laporkan yang bersangkutan dengan pencemaran nama baik. Karena ini menyangkut hajat hidup notaris atau saya secara pribadi,” ungkap Moko yang juga menjabat sebagai Kepala Bidang Humas Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI).

Namun Moko menegaskan notaris tidak resistance terhadap pidana. Notaris tetap bisa dihukum jika terbukti melakukan pelanggaran pidana. Dan dirinya secara pribadi selalu berusaha menjadi sosok yang taat hukum dengan memenuhi semua panggilan dari aparat penegak hukum. Dia tak keberatan memberikan klarifikasi jika memang keterangan itu dibutuhkan oleh hakim sebagai pertimbangan untuk memutus sebuah perkara secara adil.

Hukumonline.com

Kepala Bidang Humas PP INI, R. Wiratmoko. Foto: Istimewa

Moko juga mengisahkan pengalamannya saat ikut mendampingi rekan notaris yang harus berhadapan dengan aparat penegak hukum. Panggilan penyidik kepolisian ataupun dari kejaksaan memberikan kesan dan dampak yang berbeda tiap notaris. Bagi sebagian notaris mungkin bisa menghandle situasi yang sangat tidak mengenakkan tersebut, namun bagi notaris lainnya tekanan itu memberikan nuansa yang berbeda dan itu merupakan hal yang manusiawi. “Ada yang mohon maaf, sampai ngompol,” kisahnya sembari tertawa kecil saat mengingat kembali pengalaman pribadinya.

Tak hanya Moko, notaris lain bernama Taufik juga memiliki segudang pengalaman saat dirinya berurusan dengan aparat penegak hukum. Sejak menjadi notaris pada tahun 1998, sudah dua puluh kali dia berstatus sebagai saksi. Menariknya, hanya dua kali saja Taufik lolos dari panggilan penyidik karena adanya penolakan dari MKN. Terakhir kali Taufik bertemu dengan penyidik adalah pada tahun 2019 lalu saat dia terseret persoalan jual beli saham yang ternyata sudah diagunkan ke bank.

“Iya, itu semua sebagai saksi sejak jadi notaris tahun 1999. Macam-macam, biasanya terkait perbankan karena dokumen yang diajukan palsu. Tapi dari semua kasus itu, tidak ada kaitan langsung dengan notaris,” ungkap Taufik saat berbincang bersama Hukumonline.

Kala mengenang masa lalu, Taufik mengingat dirinya pernah dimarahi oleh Ketua Pengadilan Negeri lantaran menerima panggilan dari penyidik tanpa adanya persetujuan. Kala itu, pemanggilan notaris oleh penyidik harus mengantongi persetujuan dari Ketua Pengadilan.  “Saya waktu itu baru jadi notaris 2 atau 3 tahun. Mungkin kurangnya sosialisasi jadi tidak tahu, main datang-datang saja,” ceritanya sambil tersenyum.

Namun yang sangat disayangkan olehnya adalah perlakuan penyidik saat memanggil notaris dengan status saksi tapi kerap disamakan dengan terlapor. Misalnya saat memanggil notaris untuk diperiksa, sepanjang hari notaris dibiarkan menunggu. Treatment semacam ini menurut Taufik biasa digunakan saat memeriksa terlapor, bukan saksi. Padahal pemeriksaan dilakukan penyidik untuk menggali informasi yang benar dari seorang notaris, bukan mencari-cari kesalahan. “Datang siang, seharian tidak diperiksa. Metode penyidikan ini untuk terlapor, tidak boleh digunakan untuk memeriksa saksi,” tuturnya.

Tags:

Berita Terkait