Serikat Buruh Ingatkan Potensi Pelanggaran Praktik Pemagangan
Terbaru

Serikat Buruh Ingatkan Potensi Pelanggaran Praktik Pemagangan

Praktik pemagangan di dalam dan luar negeri dinilai rawan penyelundupan hukum, sehingga peserta pemagangan dipekerjakan seperti pekerja pada umumnya.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Sebelum masuk ke pasar kerja calon tenaga kerja perlu memiliki keahlian atau keterampilan tertentu sebagai bekal. Salah satu cara untuk mendapatkan keahlian itu melalui praktik pemagangan. Ketua Institut Hubungan Industrial Indonesia, Saepul Tavip, mengatakan pemagangan merupakan salah satu strategi meningkatkan keterampilan kerja dengan pelatihan kerja, sehingga kebutuhan industri terhadap angkatan kerja yang produktif dapat terpenuhi.

Pemagangan diatur Pasal 21-30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemagangan lebih ditekankan pada proses pelatihan, walaupun disertai dengan praktik kerja di tempat kerja secara langsung. Pasal 1 angka 11 UU No. 13 Tahun 2003 menyebut definisi pemagangan sebagai bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja yang berkompetensi dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.

Menurut Tavip, pemagangan bisa berlangsung di dalam dan luar negeri. Persyaratan pemagangan di dalam negeri diatur Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No.6 tahun 2020, dan pemagangan luar negeri diatur di Permenakertrans No.8 Tahun 2008. Hak peserta pemagangan antara lain mendapat uang saku dan uang transport, memperoleh jaminan sosial ketenagakerjaan, memperoleh sertifikat apabila dinyatakan lulus di akhir program,” kata Ketua OPSI ini ketika dikonfirmasi, Kamis (7/7/2022).

Sayangnya, masih ditemukan banyak pelanggaran dalam praktik pemagangan. Tavip mencatat banyak perusahaan yang menjalankan program pemagangan dengan memperlakukan peserta magang sebagai pekerja biasa. Padahal jelas perbedaannya dimana peserta magang tujuannya untuk menguasai keterampilan atau keahlian tertentu, sementara pekerja memiliki hubungan kerja dengan perusahaan sebagai pemberi kerja.

Peserta pemagangan kerap bekerja bersama-sama dan pada jam kerja yang sama dengan para pekerja tetap. Peserta magang sesungguhnya dipekerjakan dalam suatu hubungan kerja, yang memenuhi unsur-unsur adanya upah (walau dalam bentuk uang saku), perintah kerja, dan pekerjaan, namun mereka disebut sebagai peserta pemagangan dengan perjanjian pemagangan.

“Praktik pemagangan yang mempekerjakan peserta pemagangan sebagai pekerja semakin marak, dan dilakukan dengan perpanjangan sampai lebih dari setahun. Tentunya praktik pemagangan semacam ini menjadi cara bagi oknum perusahaan untuk mendapatkan pekerja dengan upah murah, namun dengan target dan produktivitas yang sama dengan pekerja tetap lainnya,” sesalnya.

Begitu juga pelaksanaan program magang di luar negeri, Tavip melihat peserta magang cenderung diperlakukan sebagai pekerja biasa. Indikasi mereka dipekerjakan sebagai pekerja di luar negeri disebutkan oleh Menteri Ketenagakerjaan RI yang menyatakan Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan terus berupaya meningkatkan jumlah peserta program pemagangan ke Jepang. Namun pemenuhan peserta pemagangan tersebut harus diimbangi kompetensi, keterampilan kerja agar sesuai kebutuhan industri di negeri Sakura tersebut.

Tavip mempertanyakan kenapa syarat untuk magang harus memiliki kompetensi, keterampilan kerja sesuai kebutuhan industri? Jika sudah memiliki kompetensi dan keterampilan kerja berarti mereka bukan lagi peserta magang, tapi pekerja/buruh yang siap untuk bekerja. Sayangnya peserta magang di luar negeri itu tidak masuk kategori pekerja migran Indonesia karena Pasal 4 ayat (2b) UU No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) mengatur pelajar dan peserta pelatihan di luar negeri bukan PMI.

Dia menyebut praktik pemagangan di dalam dan luar negeri rawan penyelundupan hukum, sehingga peserta pemagangan dipekerjakan seperti pekerja pada umumnya. Hal itu menurut Tavip sebagai upaya menghindari ketentuan UU No.13 Tahun 2003 yang diubah melalui UU No.11 Tahun 2020 serta UU No.18 Tahun 2017 dimana peserta magang terutama di dalam negeri harusnya menjadi pekerja dengan hubungan kerja yang jelas. Sehingga mereka bisa mendapatkan 6 program jaminan sosial yakni JKN, JKK, JKm, JHT, JP, dan JKP.

Peserta magang di luar negeri juga seharusnya diposisikan sebagai pekerja migran yang mendapat perlindungan sesuai UU No.18 Tahun 2017. Mereka juga wajib mendapat program JKK dan JKm serta dapat mengikuti program JHT. “Peserta pemagangan yang bekerja di luar negeri pun beresiko mengalami kecelakaan kerja hingga kematian sehingga harus dilindungi JKK dan JKm,” ujarnya mengingatkan.

Untuk itu, Tavip mengatakan lembaganya menuntut setidaknya 3 hal. Pertama, mendesak Kementerian Ketenagakerjaan untuk mengkaji ulang isi Permenaker No.6 tahun 2020 dan Permenakertrans No. 8 Tahun 2008, kemudian disesuaikan dengan definisi dan ketentuan pemagangan berdasarkan UU No.13 Tahun 2003.

Kedua, mendesak Kementerian Ketenagakerjaan Cq Pengawas Ketenagakerjaan melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang lebih intensif dan tegas atas pelaksanaan pemagangan di dalam negeri maupun di luar negeri yang kerap melenceng dari ketentuan yang berlaku. Ketiga, mendesak perusahaan-perusahaan maupun lembaga-lembaga yang menyelenggarakan praktik pemagangan untuk benar-benar melaksanakan ketentuan yang berlaku dan memenuhi hak-hak para peserta magang.

Tags:

Berita Terkait