Setara Institute: Pencopotan Aswanto Merusak Independensi Hakim MK
Terbaru

Setara Institute: Pencopotan Aswanto Merusak Independensi Hakim MK

UU MK mengatur mekanisme pemberhentian jabatan hakim konstitusi dilakukan pada saat masa jabatan telah habis atau mencapai usia 70 tahun.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Hakim Konstitusi Aswanto. Foto: Laptah MK
Hakim Konstitusi Aswanto. Foto: Laptah MK

Pencopotan Hakim Konstitusi Prof Aswanto oleh DPR RI mengejutkan banyak pihak. Tindakan parlemen itu menuai kritik banyak kalangan terutama masyarakat sipil. Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani, menilai tindakan tersebut melanggar UU, merusak independensi hakim, dan kelembagaan MK.

Mengacu UU MK revisi ketiga mekanisme pemberhentian jabatan hakim konstitusi dilakukan saat masa jabatan yang bersangkutan telah habis atau mencapai usia 70 tahun. Sekalipun diberhentikan di tengah jalan, Ismail mengatakan itu bisa dilakukan jika yang bersangkutan tersandung pelanggaran etik atau melakukan pidana. Pemberhentian itu dilakukan melalui keputusan dewan etik MK.

Ismail melihat salah satu alasan DPR mengganti Prof Aswanto dengan Guntur Hamzah yakni adanya aduan masyarakat dan tindakan Aswanto dalam memutus perkara yang tidak sejalan dengan kehendak DPR sebagai pembentuk UU. Alasan itu menurut Ismail tak hanya keliru, tapi juga merusak MK karena DPR menganggap 3 orang hakim MK dari jalur DPR adalah wakilnya, sehingga harus berkomitmen mengamankan produk DPR dengan cara tidak membatalkan UU.

Proses pengisian jabatan hakim MK dari 3 cabang kekuasaan yakni DPR, Presiden, dan MA menurut Ismail bukan ditujukan untuk mewakili kepentingan masing-masing institusi tersebut. Tapi memastikan independensi, integritas dan kontrol berlapis eksistensi MK, karena posisinya sebagai Peradilan Konstitusi yang menjaga prinsip supremasi konstitusi.

“Pencopotan Aswanto jelas menggambarkan penggunaan nalar kekuasaan yang membabi buta. Peragaan nalar sebagaimana diadopsi DPR akan membonsai kelembagaan dan hakim-hakim MK, khususnya yang berasal dari jalur DPR dan Presiden, karena posisi DPR dan Presiden sebagai pembentuk UU,” kata Ismail dalam keterangannya, Jum’at (30/9/2022).

Persoalan jabatan hakim MK bagi Ismail dimulai dari DPR dimana dalam revisi UU MK ketiga ketentuan batas usia hakim MK diubah sampai 70 tahun atau 15 tahun menjabat tanpa ketentuan kocok ulang atau evaluasi dari lembaga pengusul. Jika DPR ingin melakukan penggantian hakim MK seperti yang dilakukan itu seharusnya dilakukan dengan lebih dulu merevisi UU MK. Desain reformasi MK harus dituangkan dalam UU MK dan pembahasannya tidak dilakukan tergesa-gesa.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menegaskan prinsip utama kekuasaan kehakiman adalah merdeka dari intervensi, campur tangan, merasa dari bawahan lembaga lain. Oleh karena itu pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto yang disebut Komisi III sebagai wakil DPR adalah salah kaprah.

“Hakim konstitusi bukan wakil DPR, tugas DPR hanya mengajukan. Posisi hakim konstitusi tetap mandiri sebagaimana perintah Pasal 24 UUD NKRI Tahun 1945,” kata Feri, Sabtu (1/10/2022).

Alasan Komisi III DPR yang menyebut hakim konstitusi adalah wakil DPR dan ketika menjalankan tugas, tapi hasilnya dianggap tidak menyenangkan DPR kemudian hakim itu diganti menurut Feri itu melanggar Pasal 24 UUD NKRI Tahun 1945. Tugas hakim MK adalah menguji apakah UU sesuai atau tidak dengan konstitusi. Kewenangan tersebut adalah cara hakim MK untuk melindungi konstitusi.

Tags:

Berita Terkait