'Si Mobil Lecet' yang Mengejar Posisi Hakim Agung
Munir Fuady

'Si Mobil Lecet' yang Mengejar Posisi Hakim Agung

Jika Anda adalah Sarjana Hukum yang berkali-kali ikut ujian advokat dan selalu gagal, Anda tak perlu meratapi nasib. Sebab, ada nih seorang pengacara yang justru berkali-kali gagal ketika ingin 'keluar' dari profesinya sebagai advokat. Lho?

Her
Bacaan 2 Menit

 

Mobil yang mulus, Munir menjelaskan, adalah mobil yang ada di garasi. Mobil yang tidak beranjak ke mana-mana. Daya tahannya belum teruji karena belum menjelajahi jalanan. Mobil yang lecet-lecet berarti sebaliknya. Mobil begini sudah menelusuri jalanan berkelok dan berkerikil tajam. Ia nyerempet ke sana-ke sini. Wajar kalau body-nya belepotan dan catnya terkelupas.

 

Kalau mau yang seperti mobil mulus, cari saja akademisi. Pasti nilainya bagus-bagus, selorohnya. Sebab mereka tidak ke mana-mana. Hanya mengajar, balik ke rumah, tidur, besoknya mengajar lagi. Munir merasa lebih pas diidentikkan dengan mobil lecet. Ia nyerempet jagad advokat, penerbitan buku, kampus, hingga organiasasi profesi. Sayang, sebagai mobil lecet, Munir justru tak dilirik.

 

Bersama Prof Ahmad Ali, ketika wawancara seleksi hakim agung di KY, Munir dijadikan bulan-bulanan. Seorang komisioner KY menudingnya menulis buku dengan cara menjiplak karya orang lain. Itu gosip yang tidak benar. Mestinya ditunjukkan bagian mana dari 38 buku saya yang menjiplak. Mana mungkin saya menjiplak buku sebanyak itu, Munir membela diri. Dalam hal ini, ia tidak menyangkal adagium bahwa tulisan dengan satu referensi adalah jiplakan, sedangkan tulisan dengan banyak referensi adalah karya ilmiah. Buku saya selalu ada referensi, tapi bukan catatan kaki. Saya lebih suka menggunakan catatan pendek di tengah agar tidak mengganggu pembaca.

 

Pada kesempatan yang sama, Munir juga dicap sebagai kurator yang kurang disiplin dalam membuat laporan. Selain itu, ia juga dinilai kurang becus dalam mengelola keuangan saat menjabat Ketua Dewan Kehormatan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jakarta Selatan. Itu fitnah. Biasa dalam berorganisasi selalu ada lawan dan kawan, bantahnya, kala itu.

 

Meski sudah tahu KY lebih terpikat kepada mobil mulus, toh konfidensi Munir tidak berkurang. Ia yakin bakal lolos, walau tidak punya jurus khusus untuk itu. Ia tidak akan menghafal pasal demi pasal sebuah Undang-Undang, meski ada beberapa peserta seleksi sepertinya sengaja dijegal dengan pertanyaan remeh tentang nomer pasal atau Undang-Undang. Dari dulu saya tidak pernah menghafal pasal-pasal. Kalau butuh, tinggal dibuka saja, kilahnya.

 

Diusung-usung oleh organisasi atau lembaga tertentu juga bukan kegemaran Munir. Kalau mau, bisa saja ia memobilisasi dukungan dari AAI. Nama Munir cukup bertuah di organisasi ini karena sebelum menjadi Ketua Dewan Kehormatan AAI Jaksel, ia pernah jadi orang nomer satu di AAI Jakarta. Toh, ia menampik cara-cara seperti itu.

 

Bergantung kepada pihak lain, bagi Munir, lebih banyak mudharat-nya. Sudah sejak muda ia menanam keyakinan bahwa ia bisa meraih sukses tanpa terbelit beban harus membalas budi. Semua itu tak lepas dari kenyataan bahwa ia sudah menjadi anak yatim sejak di bangku SMA.

Halaman Selanjutnya:
Tags: