Sistem INA-CBG's Tak Perlu Diganti, Tapi Dibenahi
Berita

Sistem INA-CBG's Tak Perlu Diganti, Tapi Dibenahi

Serikat pekerja menilai Indonesia Case Base Group's (INA-CBG's) tepat digunakan untuk program Jaminan Sosial (Jamsos).

ADY
Bacaan 2 Menit
Sistem INA-CBG's Tak Perlu Diganti, Tapi Dibenahi
Hukumonline

Mundurnya 16 RS swasta yang menjadi bagian dari penyedia pelayanan kesehatan untuk peserta Kartu Jakarta Sehat (KJS) menuai sorotan tajam berbagai pihak atas sistem pembiayaan yang digunakan yaitu INA-CBG's. Sebagian pihak menganggap sistem itu menjadi biang keladi mundurnya belasan RS swasta tersebut.

Menanggapi hal itu Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) sekaligus koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan mekanisme pembayaranINA CBG's sudah tepat digunakan untuk program jaminan kesehatan ataupun Jamsos. Tak terkecuali KJS.

Oleh karenanya, Timboel menilai sistem pembiayaan itu tak perlu diganti, tapi dibenahi. Walu begitu Timboel menyadari salah satu penyebab mundurnya 16 RS swasta itu karena masalah tarif yang dimasukan dalam INA-CBG's. Timboel melihat selama ini RS swasta kerap menggunakan mekanisme pembiayaan ongkos untuk pelayanan atau Fee For Service (FFS). Belum lagi jumlah anggaran yang disediakan Pemda DKI untuk program kesehatan sebesar Rp1,7 triliun untuk 4,7 juta warga Jakarta dirasa kurang oleh RS swasta untuk memberikan pelayanan kepada peserta KJS.

Bagi Timboel biaya triliunan itu dianggap kurang karena antara RS swasta menetapkan biaya yang berbeda-beda. Entah itu menyangkut jasa dokter, paramedis, obat-obatan, investasi mesin dan peralatan kesehatan serta lainnya. Terlepas dari itu, Timboel menilai INA-CBG's merupakan sistem pembiayaan yang cukup baik untuk Jamkes ataupun Jamsos. Sekarang, tinggal bagaimana pihak terkait seperti RS pemerintah dan swasta, Pemda, PT Askes dan Pemerintah pusat saling terbuka menentukan besaran biaya yang dicantumkan dalam INA-CBG's.

Oleh karenanya, butuh keseriusan semua pihak terkait dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan dengan mutu terbaik kepada masyarakat. Khusus untuk RS swasta, Timboel menegaskan bahwa prinsipnya, pelayanan kesehatan termasuk RS membawa misi kemanusiaan. “RS swasta jangan juga "aji mumpung" menetapkan segala biaya dengan marjin keuntungan yang tidak wajar, untuk menyandera Pemda (DKI Jakarta,-red) dalam hal biaya,” katanya kepada hukumonline lewat surat elektronik, Selasa (21/5).

Tapi yang jelas, Timboel berpendapat masalah yang menghinggapi KJS ini terjadi karena pemerintah dan PT Askes tak menghitung secara detail bersama RS swasta berapa biaya yang dibutuhkan dalam paket harga yang dimasukan dalam INA-CBG's. Selain itu, permasalahan KJS secara umum dihadapi kegiatan pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia yaitu pemerintah gagal dalam mengendalikan harga obat dan biaya kesehatan lainnya. Akibatnya, harga yang dibandroll untuk pelayanan kesehatan menjadi mahal. “Ketergantungan terhadap bahan baku obat yang diimport dari luar negeri menyebabkan harga obat sulit dikendalikan,” tukasnya.

Atas persoalan yang ada, Timboel mengimbau Pemda DKI dan Askes mengambil langkah-langkah teknis secepatnya untuk menuntaskan masalah. Yaitu pihak terkait harus duduk bersama menentukan biaya paket pelayanan kesehatan dalam INA-CBG's dan RS swasta harus menentukan margin keuntungan yang wajar. Kemudian, pemerintah perlu memberikan insentif jasa medis dan penggunaan alat kesehatan serta obat mahal. Namun, untuk hal ini pemerintah harus tegas mekanisme pengendaliannya karena dikhawatirkan terjadi penggunaan metode FFS yang dikemas dalam INA-CBG's.

Tags:

Berita Terkait