Sistem Kamar, SEMA, dan Visi Kesatuan Hukum yang Patut Dipertanyakan
Kolom

Sistem Kamar, SEMA, dan Visi Kesatuan Hukum yang Patut Dipertanyakan

Dalam upaya menjaga kesatuan penerapan hukum, perspektif hukum yang berkembang di kalangan hakim perlu mendapatkan perhatian yang layak.

Bacaan 6 Menit

Ada hal yang perlu dikhawatirkan ketika upaya menjaga kesatuan penerapan hukum dilakukan melalui penerbitan sebuah peraturan dalam hal ini SEMA yang memuat hukum materiil. Pihak lain bisa memanfaatkannya untuk mempengaruhi—jika bukan mendesak—lembaga yudikatif untuk membuat peraturan sesuai dengan kepentingan pihak luar tersebut. Sejauh mana Mahkamah Agung mampu menjaga netralitas dan kemandirian tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam membuat sebuah peraturan merupakan tantangan berat. Ini akan menambah pekerjaan rumah selain jumlah beban perkara yang harus diperiksa dan diputus.

Dalam upaya menjaga kesatuan penerapan hukum, perspektif hukum yang berkembang di kalangan hakim perlu mendapatkan perhatian yang layak. Perspektif ini baik mengenai kasus hukum yang belum diatur dalam undang-undang maupun penerapan hukum terhadap kasus yang telah diatur dalam undang-undang. Perspektif hukum di kalangan hakim dapat mencerminkan "konsensus hukum" di antara para hakim. Tradisi hukum Islam menyebutnya dengan ijma'. Kesatuan hukum yang bermuara kepada kepastian hukum tidak selalu bersifat top down, tetapi juga bisa bottom up. Cara yang demikian bisa mewujudkan kesatuan hukum tanpa harus membelenggu kebebasan hakim.

Sebagai contoh dalam praktik di lingkungan Peradilan Agama, para hakim memiliki perspektif hukum yang sama terkait permohonan pengesahan nikah. Penjelasan Pasal 49 ayat (2) angka 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 menyebutkan pengesahan perkawinan hanya berlaku bagi perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, para hakim menerima dan mengabulkan permohonan pengesahan nikah atas perkawinan siri (tidak tercatat) yang terjadi setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal demikian karena perkawinan yang dilakukan sesuai hukum agama adalah sah berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat (living law). Tidak menjadi masalah meski tidak tercatat sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Apa yang dilakukan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama itu karena terdapat external recognition oleh tatanan normatif lain di luar ketentuan undang-undang, dalam hal ini hukum yang hidup di masyarakat (living law). Selain itu, juga terdapat internal incompatibility antara Penjelasan Pasal 49 ayat (2) angka 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

*)Muhamad Isna Wahyudi, Ketua Pengadilan Agama Banyumas, Jawa Tengah.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait