Sistem Kamar, SEMA, dan Visi Kesatuan Hukum yang Patut Dipertanyakan
Kolom

Sistem Kamar, SEMA, dan Visi Kesatuan Hukum yang Patut Dipertanyakan

Dalam upaya menjaga kesatuan penerapan hukum, perspektif hukum yang berkembang di kalangan hakim perlu mendapatkan perhatian yang layak.

Bacaan 6 Menit
M Isna Wahyudi. Foto: Istimewa
M Isna Wahyudi. Foto: Istimewa

Seiring Mahkamah Agung menerapkan sistem kamar sejak akhir tahun 2011, rapat pleno kamar dilaksanakan sebagai salah satu instrumen menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan. Rapat pleno kamar membahas permasalahan-permasalahan hukum dari tiap kamar termasuk yang berpotensi menimbulkan disparitas putusan. Hasil pembahasan dari tiap kamar menjadi sebuah rumusan hukum yang akan digunakan sebagai pedoman penanganan perkara. Mahkamah Agung lalu menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang memuat hasil rapat pleno kamar tersebut sebagai dasar hukum pemberlakuan bagi hakim-hakim di pengadilan tingkat pertama dan banding.

Sepuluh tahun belakangan Mahkamah Agung telah menerbitkan sepuluh SEMA yang memuat rumusan hasil rapat pleno kamar: SEMA No. 7 Tahun 2012, SEMA No. 4 Tahun 2014, SEMA No. 3 Tahun 2015, SEMA No. 4 Tahun 2016, SEMA No. 1 Tahun 2017, SEMA No. 3 Tahun 2018, SEMA No. 2 Tahun 2019, SEMA No. 10 Tahun 2020, SEMA No. 5 Tahun 2021, dan SEMA No. 1 Tahun 2022. Materi muatan SEMA selama ini hanya tentang hukum formil atau teknis penyelenggaraan peradilan.

Baca juga:

Namun, berdasarkan penelitian Penulis, dalam perkembangannya terdapat materi muatan SEMA tentang substansi hukum atau hukum materiil khususnya dalam rumusan hasil rapat pleno kamar agama. Misalnya SEMA No. 1 Tahun 2022 huruf C Rumusan Kamar Agama angka 1 terdapat ketentuan sebagai berikut:

a. Untuk menjamin terwujudnya asas kepentingan terbaik bagi anak dalam perkara harta bersama yang objeknya terbukti satu-satunya rumah tempat tinggal anak, gugatan tersebut dapat dikabulkan, akan tetapi pembagiannya dilaksanakan setelah anak tersebut dewasa (berusia 21 tahun) atau sudah menikah.

b. Dalam upaya mempertahankan suatu perkawinan dan memenuhi prinsip mempersukar perceraian maka:

1) perkara perceraian dengan alasan suami/istri tidak melaksanakan kewajiban nafkah lahir dan/atau batin, hanya dapat dikabulkan jika terbukti suami/istri tidak melaksanakan kewajibannya setelah minimal 12 (dua belas) bulan; atau

2) perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dapat dikabulkan jika terbukti suami/istri berselisih dan bertengkar terus menerus atau telah berpisah tempat tinggal selama minimal 6 (enam) bulan.

Ketentuan pembagian harta bersama dalam SEMA di atas tidak diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tentang harta bersama, baik Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Ketentuan tentang alasan-alasan perceraian dalam SEMA di atas juga tidak ditemukan di peraturan perundang-undangan baik dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 maupun Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Frasa “dapat dikabulkan” dalam ketentuan SEMA No. 1 Tahun 2022 huruf C Rumusan Kamar Agama angka 1 huruf a dan b telah masuk ke dalam ranah hukum materiil berkaitan dengan pokok perkara. Lain halnya jika materi yang diatur berkaitan dengan prosedur atau hukum formil, maka frasa yang digunakan adalah “dapat diterima” atau “tidak dapat diterima”.

Materi muatan SEMA yang mengatur tentang hukum materiil ternyata berlanjut dalam SEMA No. 2 Tahun 2023 bertanggal 17 Juli 2023 tentang tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Poin kedua dalam SEMA tersebut memuat ketentuan bahwa pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.

Ketentuan tersebut berkaitan dengan hukum materiil yang diatur Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Penjelasan pasal itu menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan’ adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama”. Ketentuan dalam SEMA itu menimbulkan konflik antarnorma hukum terkait pencatatan perkawinan yang dilakukan antarumat berbeda agama alih-alih memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum.

Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengakui peraturan yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan selain dimaksud Pasal 7 ayat 1. Namun, Pasal 8 ayat 2 menjelaskan batasannya. Peraturan perundang-undangan seperti yang dimaksud pada ayat (1) hanya diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Kewenangan Mahkamah Agung untuk membuat peraturan punya dasar hukum pada Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. Pasal ini menyatakan bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang tersebut.

Batasan kewenangan Mahkamah Agung dalam membuat peraturan diatur dalam Penjelasan Pasal 79 sebagai berikut: “Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undang-undang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya atau- pun pembagian beban pembuktian.”

Perkembangan materi muatan SEMA yang berkaitan dengan hukum materiil, jika dicermati berdasarkan ketentuan Penjelasan Pasal 79 di atas, telah melampaui batasan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Mahkamah Agung dalam membuat peraturan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah perkembangan yang demikian merupakan implikasi dari penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung atau murni karena faktor kelalaian dalam membuat peraturan? Sebelumnya, peran untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui putusan-putusan di tingkat kasasi yang kemudian diikuti oleh hakim-hakim di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Hasilnya kemudian menjadi yurisprudensi tetap.

Ada hal yang perlu dikhawatirkan ketika upaya menjaga kesatuan penerapan hukum dilakukan melalui penerbitan sebuah peraturan dalam hal ini SEMA yang memuat hukum materiil. Pihak lain bisa memanfaatkannya untuk mempengaruhi—jika bukan mendesak—lembaga yudikatif untuk membuat peraturan sesuai dengan kepentingan pihak luar tersebut. Sejauh mana Mahkamah Agung mampu menjaga netralitas dan kemandirian tanpa mengurangi kebebasan hakim dalam membuat sebuah peraturan merupakan tantangan berat. Ini akan menambah pekerjaan rumah selain jumlah beban perkara yang harus diperiksa dan diputus.

Dalam upaya menjaga kesatuan penerapan hukum, perspektif hukum yang berkembang di kalangan hakim perlu mendapatkan perhatian yang layak. Perspektif ini baik mengenai kasus hukum yang belum diatur dalam undang-undang maupun penerapan hukum terhadap kasus yang telah diatur dalam undang-undang. Perspektif hukum di kalangan hakim dapat mencerminkan "konsensus hukum" di antara para hakim. Tradisi hukum Islam menyebutnya dengan ijma'. Kesatuan hukum yang bermuara kepada kepastian hukum tidak selalu bersifat top down, tetapi juga bisa bottom up. Cara yang demikian bisa mewujudkan kesatuan hukum tanpa harus membelenggu kebebasan hakim.

Sebagai contoh dalam praktik di lingkungan Peradilan Agama, para hakim memiliki perspektif hukum yang sama terkait permohonan pengesahan nikah. Penjelasan Pasal 49 ayat (2) angka 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 menyebutkan pengesahan perkawinan hanya berlaku bagi perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, para hakim menerima dan mengabulkan permohonan pengesahan nikah atas perkawinan siri (tidak tercatat) yang terjadi setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal demikian karena perkawinan yang dilakukan sesuai hukum agama adalah sah berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat (living law). Tidak menjadi masalah meski tidak tercatat sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Apa yang dilakukan oleh para hakim di lingkungan Peradilan Agama itu karena terdapat external recognition oleh tatanan normatif lain di luar ketentuan undang-undang, dalam hal ini hukum yang hidup di masyarakat (living law). Selain itu, juga terdapat internal incompatibility antara Penjelasan Pasal 49 ayat (2) angka 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

*)Muhamad Isna Wahyudi, Ketua Pengadilan Agama Banyumas, Jawa Tengah.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait