Soal Perlawanan Meruya, Buku Pedoman MA Bisa Diabaikan
Berita

Soal Perlawanan Meruya, Buku Pedoman MA Bisa Diabaikan

Perlawanan terancam karena sebagian tanah pelawan tidak berstatus hak milik. Buku Pedoman MA tegas mengatakan hanya hak milik yang dapat jadi dasar mengajukan perlawanan.

Kml/CRP
Bacaan 2 Menit

 

 

Pasal 195 (6) HIR

Jika hal menjalankan putusan itu dibantah, dan juga jika yang membantahnya itu orang lain, oleh karena barang yang disita itu diakuinya sebagai miliknya, maka hal itu serta segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan itu, dihadapkan kepada pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi hal menjalankankan putusan itu, serta diputuskan juga oleh pengadilan itu.

 

 

Buku II Mahkamah Agung soal Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (1998), juga dikutip Porta Nigra untuk memperkuat dalil mereka. Buku ini juga menyatakan bahwa Perlawanan pihak ketiga terhadap sita (termasuk sita eksekusi, red) hanya dapat didasarkan atas hak milik, jadi hanya dapat diajukan oleh pemilik atau orang yang merasa bahwa ia adalah pemilik barang. Lebih lanjut disebutkan Penyewa, pemegang hipotik atau credietverband, pemegang hak pakai atas tanah, tidak dibenarkan mengajukan perlawanan semacam ini.     

 

Memang tidak semua warga yang melawan memiliki sertipikat hak milik. Dari 685 warga, ada setidaknya 277 pihak, yang tanahnya antara lain beralaskan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Perjanjian Sewa Beli, Akta Jual beli, dan Girik C. Jika nantinya eksepsi Porta Nigra diterima, maka perlawanan Pemprov juga akan kandas, mengingat memang semua tanah Pemda beralaskan hak pakai.

 

Menanggapi eksepsi Porta Nigra, warga kembali menegaskan bahwa perlawanan sah karena seluruh hak atas tanahnya dibuat di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Negara. Selain itu pembatasan bahwa hanya pemegang hak milik yang dapat mengajukan perlawanan menghianati jiwa dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

 

Pemprov juga menyangkal tangkisan Porta Nigra, dan menerangkan bahwa kata-kata milik dalam 195(6) HIR bukan berarti hak milik, dengan dalil Pasal 16 Ayat (1) UUPA. Bentuk kepemilikan Hak Pakai menurut Pemprov merupakan konsekuensi yuridis dari UUPA yang hanya membolehkan perorangan WNI memegang Hak Milik. Ketentuan itu juga menetapkan pemilikan berbentuk Hak Pakai bagi instansi pemerintah sesuai Pasal 42 UU tanah tersebut.

 

Namun, warga maupun Pemprov tidak memberi tanggapan sedikitpun terhadap Buku II MA, yang lazim menjadi acuan hakim-hakim pengadilan.

 

MA: bisa diabaikan

Menjawab pertanyaan siapa yang boleh derden verzet Juru Bicara MA Djoko Sarwoko berusaha diplomatis dan menyatakan maksud Buku II ialah kepemilikan. Namun ia menolak berkomentar lebih lanjut saat ditanya bunyi Buku II yang menegaskan perlawanan hanyabagi pemegang hak milik.

Tags: