Status Kejiwaan Ryan Tentukan Pertanggungjawaban Pidana
Berita

Status Kejiwaan Ryan Tentukan Pertanggungjawaban Pidana

Polisi bakal memeriksa kejiwaan tersangka mutilasi dan pembunuhan berantai Verry Idham Henyaksah. Kalau tidak normal, ada dua kemungkinan: sakit jiwa atau kelainan jiwa. Psikologi forensik tak mengenai pembedaan demikian. Pasal 44 KUHP kurang detil menafsirkan.

Oleh:
Nov
Bacaan 2 Menit
Status Kejiwaan Ryan Tentukan Pertanggungjawaban Pidana
Hukumonline

 

Ditemui di sela acara Rakernis Fungsi Reserse dan Intelkam di Mabes Polri (23/7), Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Carlo Brix Tewu memastikan bahwa hingga kini sudah ada lima korban pembunuhan. Ryan diduga sebagai pelaku pembunuhan tersebut. Untuk mengendus apakah masih ada kemungkinan korban lain, Mabes Polri melimpahkan kewenangan ke Polda Jawa Timur. Berkas-berkas sudah dialaihkan ke sana. Silakan tanya ke direktur reskrimum Polda Jatim, ujarnya.

 

Melihat banyaknya korban, aksi Ryan ini bisa disebut pembunuhan berantai. Sebagian kalangan, termasuk polisi, curiga pelaku mengalami kelainan jiwa. Adakah pelaku sebagai psikopat? Polisi perlu memeriksa kejiwaan pelaku. Oh, jelas itu (diperiksa –red), tandas Kabareskrim Mabes Polri Bambang Hendarso Danuri.

 

Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Abu Bakar Nataprawira, memastikan bahwa polisi akan memeriksa kejiwaan pelaku. Kalau normal, tentu pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban. Kalau tidak, menurut Abu Bakar, ada dua kemungkinan: sakit jiwa atau kelainan jiwa. Tapi tergantung nanti hasil pemeriksaan, ujarnya.

 

Jika nanti hasil pemeriksaan mengkategorikan Ryan sebagai pengidap sakit jiwa, maka kata Abu Bakar, tindakannya akan dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Beda halnya kalau pelaku dinyatakan mengalami kelainan jiwa. Ryan masih dianggap mampu mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dia lakukan.

 

Istilah sakit jiwa atau kelainan jiwa

Pengajar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Rudy Satryo Mukantardjo, menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana seseorang bisa terkait dengan kondisi kejiwaan pelaku. Hal tersebut disinggung dalam pasal 44 KUHP. Masalahnya, kata Rudy, pasal 44 tidak memperjelas definisi gangguan kejiwaan dimaksud, apakah sakit jiwa, atau kelainan jiwa. Pada kondisi sakit jiwa, pelaku tindak pidana tidak sadar sama sekali ketika melakukan kejahatan –misalnya –pembunuhan. Berbeda dengan kelainan jiwa, dimana masih ada satu kesadaran.

 

Andaikan Ryan terbukti psikopat, kata Rudy, pelaku akan masuk kategori sakit jiwa, sehingga dapat dikategorikan sebagai orang yang tidak dapat dihukum. Tapi, sekali lagi, itu tergantung pada penilaian ahli. Pada kenyataannya, beberapa kasus sejenis pelakunya dapat dihukum karena mereka masih dianggap mampu untuk mempertanggungjawabkan tindak pidananya. Masih mempunyai kehendak untuk bebas bertindak. Kalau sakit jiwa itu dia tidak dianggap bebas bertindak, tambah Rudy.

 

Pada persidangan, kondisi kelainan jiwa pelaku tidak membawa efek pada berat ringannya hukuman. Terdakwa tetap dianggap sama dengan orang biasa yang melakukan tindak pidana. Menurut Rudy, walaupun ternyata hukuman pelaku diperberat, biasanya karena pembunuhan yang disertai mutilasi, plus jumlah korbannya banyak. Jadi, hukumannya berat karena sadis dan jumlahnya yang banyak. Bukan karena kelainan jiwanya, ujar pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.

 

Bila hukum pidana bisa membedakan sakit jiwa dan kelainan jiwa dari sisi pertanggungjawaban hukum, tidak demikian halnya dengan psikologi forensik. Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Seluruh Indonesia, Yusti Prabowo Rahayu menjelaskan, dalam psikologi forensik tidak ada perbedaan mendasar antara kelainan jiwa dan sakit jiwa. Para ahli psikologi forensi lazimnya hanya menggunakan satu terminologi, yakni orang yang bermasalah secara kejiwaan. Memang, kategorinya macam-macam. Ada yang psikopat, schizofren, dan neurosis. Jadi, kita tidak membedakan kategori kelainan jiwa dan sakit jiwa, ujarnya kepada hukumonline melalui sambungan telepon.

 

Pasal 44 KUHP yang mengatur masalah pertanggungjawaban pidana bagi pelaku yang mengalami gangguan kejiwaan, kata Yusti, dapat dipermasalahkan. Sebab, tidak dijelaskan mendetail maksud dan cakupan istilah gangguan kejiwaan. Harusnya gangguan kejiwaan itu didefinisi operasionalkan secara lebih jelas. Agar ada kepastian, tukas Yusti.

 

Menurut Yusti, bagi ahli kesehatan jiwa Pasal 44 itu masih kontradiktif sekali karena hanya berbicara tentang mereka yang terganggu jiwanya. Biasanya putusan pengadilan untuk orang-orang yang terkategorikan seperti Pasal 44 akan dilepaskan dan biasanya di kirim ke rumah sakit jiwa.

 

Problematiknya, bahasa hukum dengan bahasa kesehatan jiwa juga belum sejalan. Definisi antara ahli kesehatan mental, psikolog dan psikiater, dengan orang hukum belum ada satu kata sepakat. Bisa saja yang menurut ahli kejiwaan, orang ini layak dilepaskan dan diberi perawatan, tapi kata orang hukum tidak, tukas pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya ini.

 

Misalnya, kasus Astini di Jawa Timur yang memotong-motong anak tetangganya. Kita melihatnya sebagai orang yang bermasalah juga, dalam artian psikopat. Tapi, dari sisi hukum orang akan melihat keanehan, pelaku sudah membunuh kok tetap dilepaskan. Kemudian, Robot Gedek yang suka memperkosa anak kecil.

 

Pandangan Rudy tentang ada unsur kehendak untuk bertindak dengan bebas sehingga tindak pidananya dapat dipertanggungjawabkan, ditepis Yusti. Inilah bedanya orang hukum dengan ahli jiwa. Pada dasarnya orang yang mempunyai gangguan kejiwaan itu, memang secara sadar melakukan tindak pidana. Hanya saja, psikopat itu adalah orang yang punya gangguan di masalah hubungan sosial. Ia memiliki normanya sendiri. Agresinya kuat dan empatinya rendah. Secara psikologis orang ini bermasalah. Untuk itu, perlu ditelusuri secara individu apa penyebabnya.

 

Kerja Sama dengan Psikolog

Seharusnya antara pihak hukum dengan rumah sakit punya kerja sama yang baik. Jadi, begitu ada pelaku tindak pidanan yang terkategori memiliki gangguan kejiwaan. Harusnya ia masuk ke rumah sakit jiwa dan harus di rawat di bawah supervisi hukum. Itu mestinya. Jangan sampai dia dilepas karena berbahaya bagi masyarakat, harap Yusti.

 

Masalahnya, dipidana pun belum tentu efektif karena lapas-lapas di Indonesia ini bukan lapas yang bisa melakukan rehabilitasi. Jadi lebih banyak cuma mengurung orang. Walaupun ada rehabilitasi yang dilakukan, dalam bentuk mengerjakan keterampilan. Tetapi hanya begitu saja, tidak ada rehabilitasi psikologis. Ia membandingkan dengan Australia, dimana selalu ada tim yang terdiri dari psikiater, psikolog, dan social worker di Lapas. Jadi, kalau ada kasus-kasus kayak Robot Gedek masuk ke Lapas, kita nggak khawatir.

 

Menurut Yusti, sistem  pemasyarakatan di Indonesia belum ada upaya untuk ke sana. Psikolognya tidak ada, psikiater apa lagi. Yang ada dokter umum. Itupun dengan fasilitas obat yang sangat terbatas. Makanya sering ditemukan kasus-kasus yang punya problematika kejiwaan, misalnya Peudofilia. Ada kasus seorang laki-laki yang suka memperkosa anak kecil. Ia masuk ke Lapas, tapi kemudian setelah dia keluar, tiga bulan dia melakukan lagi. Jadi, apa yang bisa dilakukan Lapas?  

 

Untuk itu, Yusti mengharapkan, apabila dalam kasus-kasus yang melibatkan aspek psikologis, seharusnya psikiater atau psikolog juga diundang. Memang sekarang sudah mulai banyak dipakai. Entah itu psikolog dari kepolisian (kepolisian di setiap wilayah ada psikolognya) atau yang lain. Biasanya kalau ahli hukum tidak yakin, mereka akan mengecek ke psikolog atau psikiater. Untuk pelaku yang seperti ini, polisi akan melakukan pemeriksaan juga. Tapi, bisa saja hasil pemeriksaan psikolog atau psikiater tidak sejalan dengan polisinya atau hakimnya, itu masih sering terjadi, aku Yusti.

Verry Idham Henyaksyah alias Ryan menjadi tenar karena kejahatan. Ia disebut-sebut sebagai pelaku mutilasi mayat yang ditemukan di kawasan Kebagusan, Jakarta Selatan, pertengahan Juli lalu. Kasus pembunuhan ini  menjadi tak biasa karena pelaku diduga berlatar penyuka sesama jenis atau homoseksual. Korban terakhir, Heri Santoso, dibantai dan dimutalisasi menjadi tujuh bagian hanya karena cemburu. Korban menaksir pacar pria Ryan, Novel Andrias alias Noval, yang kini juga berstatus tersangka.

 

Belakangan, aksi kejahatan Ryan lain terungkap. Polisi berhasil menemukan empat kerangka jenazah di belakang rumah orang tua Ryan di Dusun Maijo, Desa Jatiwates, Kecamatan Tembelang, Jombang, Jawa Timur. Tiga diantaranya bernama Ariel Somba Sitanggang, Vincentius Yudi Triono, dan Guruh Setyo Pramono alias Guntur. Satu mayat lagi dikenal sebagai Grandy, warga negara Belanda.   

Halaman Selanjutnya:
Tags: