Sudah Saatnya Indonesia Berbenah Soal Hukuman Mati
Berita

Sudah Saatnya Indonesia Berbenah Soal Hukuman Mati

Banyaknya korban eksekusi mati yang salah sasaran merupakan pukulan telak bagi pemerintah untuk segera melakukan koreksi dan evaluasi atas sistem peradilan sesuai prinsip fair trial.

Oleh:
CR-25
Bacaan 2 Menit

 

“Jeff mengaku dirinya berulang kali disiksa selama interogasi dan diancam akan ditembak jika dia menolak menandatangani dokumen di mana ia harus ‘mengaku’ memiliki heroin,” ungkap Usman.

 

Dalam kasus Jeff, sambung Usman, ia bahkan tidak diberikan akses ke pengacara selama lima bulan sejak penangkapan, selama interogasi dan dalam masa penahanan. Ini jelas merupakan tindakan yang tidak hanya melanggar hukum internasional namun juga hukum pidana Indonesia.

 

(Baca Juga: Vonis Mati Banyak Dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri)

 

Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan menyesali kematian Jeff yang menurut pantauannya tidak bersalah karena dijebak namun sudah dihukum mati. Jeff juga menilai desakan DPR terhadap jaksa agung untuk segera melakukan hukuman mati jilid 4 adalah bentuk pencitraan semata mengingat tahun politik kampanye semakin dekat.

 

“Jaksa Agung didesak DPR untuk hukuman mati jilid 4, ini wajar, karena sebentar lagi musim kampanye. Ini jadi wadah gagah-gagahan DPR untuk memperlihatkan kinerja mereka,” pungkas Ricky.

 

Unfair Trial & Human Trafficking

Tidak sampai di situ, Peneliti Imparsial, Ardimanto turut menyayangkan pengenaan hukuman mati di Indonesia seringkali disasar berdasarkan stereotipe penegak hukum. dalam kasus narkotika misalnya, jelas Ardimanto, orang asing seringkali di-stereotipe sebagai bandar sementara belum tentu demikian. Para penegak hukum dianggap Ardimanto tidak memberikan klasifikasi yang lebih rinci soal pengedar atau bandar.

 

Kekeliruan pengadilan dalam menelusuri fakta dan menggali keadilan yang berujung salah menyasar pelaku hingga berakhir dengan eksekusi mati. Kekeliruan ini tidak hanya terjadi dalam kasus Humprey Jefferson, kata Ardimanto, Kasus Marry Jane juga menunjukkan kekeliruan pengadilan Indonesia dalam menerapkan hukuman mati terhadap seseorang.

 

Wanita asal Filipina yang tertuduh menyelundupkan 2.6 kilogram heroin tersebut telah dihukum mati, padahal ia hanyalah korban perdagangan manusia yang dimanfaatkan bandar untuk memasukkan narkotika ke Indonesia.

Tags:

Berita Terkait