Supir Angkot Persoalkan Pemindahan dan Pendanaan IKN
Terbaru

Supir Angkot Persoalkan Pemindahan dan Pendanaan IKN

UU IKN ini bertentangan dengan prinsip aspirasi banyak orang karena berada jauh dari pusat ibu kota yang sebelumnya. Penempatannya menimbulkan pro-kontra karena ibu kota negara pindah dan masyarakat tidak dapat lagi melihat lokasi yang jauh.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 3 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Seorang supir angkutan kota (angkot) bernama Mulak Sihotang turut melayangkan uji formil dan materil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam persidangan, Mulak Sihotang (Pemohon) menyampaikan permohonannya kepada panel hakim secara daring tanpa didampingi kuasa hukum, Selasa (19/4/2022). Mulak mengajukan uji materi Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (8), Pasal 5 ayat (4) UU IKN.

Sidang perdana dengan perkara Nomor 47/PUU-XX/2022 ini dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Mulak merasa dirugikan atas pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang bersumber dari APBN dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebab, dalam rangka pendanaan IKN tersebut, otorita IKN dapat melakukan pemungutan pajak khusus dan bahkan pajak daerah serta restribusi daerah dapat berlaku secara mutatis mutandis sebagai pajak khusus sebagaimana dimaksud pada UU a quo.

“Adanya pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang bersumber dari APBN dan masyarakat tidak dapat lagi melihat lokasi yang jauh dan ini mengekang hak konstitusional warga negara dan diharapkan Mahkamah dapat memberikan surat pada DPR untuk merevisi UU IKN ini,” kata Mulak melalui video conference dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Baca Juga:

Ia menilai pembentukan UU IKN sejak mulai dari perencanaan, penyusunan, pengesahan, atau penetapan harus bersifat transparan dan terbuka serta melibatkan partisipasi masyarakat. Ia melihat beberapa prosedur yang dilanggar dalam proses pembentukan UU IKN yakni melanggar UU Penataan Tata Ruang Nomor 7 Tahun 2007; Perda Nomor 10 Tahun 2004 tentang Rencana Induk Tata Ruang Provinsi Kalimantan Timur; dan Perda Nomor 12 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur.

“Akibat dilanggarnya peraturan perundang-undangan tersebut berakibat pada cacat formil dari UU IKN,” sebutnya.

Tags:

Berita Terkait