Tak Lapor Transaksi Mencurigakan, Lawyer dan Notaris Akan Masuk ‘Daftar Hitam’
Utama

Tak Lapor Transaksi Mencurigakan, Lawyer dan Notaris Akan Masuk ‘Daftar Hitam’

Dua tahun berselang pasca PP Nomor 43 Tahun 2015, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendorong kalangan profesi yang tergolong sebagai gatekeeper untuk melaporkan transaksi mencurigakan.

Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit

 

Diwartakan Hukumonline sebelumnya, kalangan profesi advokat sempat khawatir aturan wajib lapor sebagaimana PP Nomor 43 Tahun 2015 berbenturan dengan ketentuan Pasal 19 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Adovkat yang tegas mengatur bahwa advokat dalam hal ada hubungan profesi dengan klien, advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui dan diperoleh dari klien. Bahkan, dalam ketentuan yang sama, klien berhak juga atas perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik dengan advokat.

 

(Baca Juga: Jalan Keluar Bagi Advokat dalam Implementasikan PP No. 43 Tahun 2015)

 

Sejumlah advokat juga sempat mengajukan hak uji materiil ke Mahkamah Agung (MA) lantaran menilai PP Nomor 43 Tahun 2015 bertentangan dengan UU Nomor 18 Tahun 2003. Sayangnya, upaya tersebut gugur setelah MA mengeluarkan putusan tidak dapat menerima alias niet onvantkelijk verklaard (N.O).

 

Dikatakan Dian, ke depan tidak ada lagi alasan bagi profesi untuk menjalankan karena PPATK sudah hampir menyelesaikan sistem pelaporan online yang memudahkan dan mulai diaktifkan awal Januari 2018 mendatang.

 

“Kita gunakan semacam blacklist. Kalau yang tidak lapor, kesimpulan kita orang yang tidak lapor itu high risk. Itu pilihan mereka kalau sudah begitu. Kita juga tidak publish [daftar hitam] itu ke mana-mana, hanya ke pemerintah, aparat penegak hukum, dan perbankan, kata Dian.

 

Beneficial Owner

Terkait Beneficial Owner (BO), Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, Perpres Beneficial Ownership dirancang untuk mengetahui identitas penerima manfaat dari korporasi atau legal arrangement tertentu. "Selama ini, concern pemerintah baru tertuju kepada legal ownership, sehingga acapkali penerima manfaat sebenarnya tak terlacak," ujar Kiagus.

 

Menurut dia, penerbitan Perpres tersebut, merupakan salah satu langkah untuk mempercepat peningkatan transparansi kepemilikan perusahaan penerima manfaat dari aktivitas perekonomian. Dengan rencana penerbitan Perpres itu, lanjut Kiagus, pemerintah akan mengetahui apabila sebuah korporasi atau pemilik korporasi terlibat kejahatan.

 

"Transparansi itu akan memudahkan PPATK mendeteksi praktik pencucian uang yang menggunakan sarana korporasi dan legal arrangement," katanya.

Tags:

Berita Terkait