Tanggapan Amnesty International Terkait Pengakuan Presiden Atas Pelanggaran HAM Berat
Terbaru

Tanggapan Amnesty International Terkait Pengakuan Presiden Atas Pelanggaran HAM Berat

Pengakuan terjadinya pelanggaran HAM berat itu seharusnya dibarengi dengan upaya mengadili para pelakunya sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Foto: Istimewa
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Foto: Istimewa

Kalangan masyarakat sipil merespon positif pernyataan resmi Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara yang mengakui dan menyesalkan telah terjadi pelanggaran HAM berat setidaknya dalam 12 peristiwa. Kendati diapresiasi, kalangan masyarakat sipil mengingatkan agar pengakuan itu dibarengi dengan upaya untuk mengadili para pelakunya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan lembaganya menghargai sikap Presiden Jokowi itu. Pengakuan seperti itu sudah lama ditunggu mengingat penderitaan para korban dibiarkan tanpa keadilan, kebenaran, dan pemulihan selama beberapa dekade.

“Menurut pendapat kami, pengakuan Presiden Joko Widodo atas pelanggaran HAM di masa lalu tersebut tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum,” kata Usman saat dikonfirmasi, Kamis (12/1/2023).

Baca Juga:

Usman menegaskan selain pengakuan, harus ada upaya serius pemerintah untuk mengadili para pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu. Tanpa upaya tersebut, sama saja pemerintah hanya menambah luka korban dan keluarganya. “Sederhananya, pernyataan presiden tersebut tidak besar artinya tanpa adanya akuntabilitas,” ujarnya.

Menurut Usman, 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang disebut Presiden Jokowi mengabaikan kengerian kejahatan yang sudah terkenal lainnya. Misalnya pelanggaran selama operasi militer di Timor Timur, Tanjung Priok tahun 1984, penyerangan 27 Juli 1996, dan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib tahun 2004.

“Kelalaian ini merupakan penghinaan bagi banyak korban. Pemerintah mengabaikan fakta bahwa proses penyelidikan dan penyidikan setengah hati selama ini – termasuk dalam empat kasus yang tidak disebutkan detailnya dalam pernyataan hari ini – telah menyebabkan pembebasan semua terdakwa dalam persidangan pengadilan HAM terdahulu,” ungkapnya.

Jika Presiden Jokowi serius berkomitmen untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM berat, Usman menyebut pihak berwenang harus segera, efektif, menyeluruh, dan tidak memihak dalam menyelidiki semua orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat masa lalu. Ketika ada bukti yang cukup para pelaku itu dapat dituntut di pengadilan.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, menurut Usman tak bisa hanya menyebut pengadilan HAM yang membebaskan semua terdakwa karena tidak cukup bukti. Sebab, selama ini lembaga yang berwenang berada langsung di bawah kewenangan Presiden yakni Jaksa Agung tidak serius mencari bukti melalui penyidikan.

Pemerintah harus serius mengakhiri impunitas melalui penuntutan dan penghukuman terhadap pelaku. Usman menegaskan hal itu sebagai satu-satunya cara untuk mencegah berulangnya pelanggaran HAM dan memberikan kebenaran serta keadilan bagi korban dan keluarganya. “Pelaku harus dihadapkan pada proses hukum, jangan dibiarkan, apalagi sampai diberikan kedudukan dalam lembaga pemerintahan,” tegasnya.

Tak ketinggalan Usman menekankan pernyataan Presiden Jokowi yang sekedar menyebut nama-nama peristiwa saja jauh dari cukup. Belum lagi kalau membahas tentang kekerasan seksual yang terjadi secara sistematik dalam berbagai situasi pelanggaran HAM berat masa lalu seperti 1965-1966 hingga daerah operasi militer selama 1989-1998.

“Menyebut nama peristiwa seperti Tragedi Mei 1998 misalnya, perlu mempertimbangkan kekerasan rasial dan kekerasan seksual terhadap perempuan dalam tragedi berdarah tersebut.”

Tags:

Berita Terkait