Tanggapan MA Terkait Kontroversial Putusan PN Jakpus Soal Penundaan Pemilu
Terbaru

Tanggapan MA Terkait Kontroversial Putusan PN Jakpus Soal Penundaan Pemilu

MA menilai hakim tidak bisa dipersalahkan secara kedinasan terkait produk putusannya karena sebagai sebuah asas putusan pengadilan dianggap benar. Tapi, dengan adanya mekanisme upaya hukum, putusan hakim dapat saja dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Hampir semua kalangan mengkritisi terbitnya Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) antara Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) melawan KPU RI dengan nomor perkara 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang dibacakan, Kamis (2/3/2023) kemarin. Mulai dari akademisi, masyarakat sipil, lembaga negara, hingga kalangan parlemen. Pasalnya, putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim yang diketuai T Oyong bersama H Bakri dan Dominggus Silaban sebagai hakim anggota pada Kamis (2/3/2023) kemarin, menimbulkan kontroversial lantaran salah satu amar putusannya seolah memerintahkan penundaan Pemilu 2024.

Salah satu amar putusannya menghukum KPU RI sebagai tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu Tahun 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari. Hal ini bisa berimbas pada penundaan Pemilu 2024 yang dinilai bertentangan dengan Konstitusi dan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum serta melebihi batas kewenangan mengadili.  

Baca Juga:

Menanggapi kritikan publik atas terbitnya putusan itu, Mahkamah Agung (MA) angkat bicara. Juru Bicara MA Suharto mengatakan putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sebab, sangat mungkin ada pihak (KPU, red) yang mengajukan hukum banding ke Pengadilan Tinggi. “Maka yang paling bijak ya, kita tunggu saja proses upaya hukum bandingnya,” kata Suharto saat dihubungi Hukumonline, Sabtu (4/3/2023).  

Hakim Agung Kamar Pidana MA ini menilai hakim tidak bisa dipersalahkan secara kedinasan terkait produk putusannya karena sebagai sebuah asas putusan pengadilan dianggap benar. Tetapi, dengan adanya mekanisme upaya hukum, putusan hakim dapat saja dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, misalnya oleh Pengadilan Tinggi dan MA.

Secara kelembagaan, kata Suharto, MA tidak bisa menanggapi atau menilai substansi dari putusan PN Jakpus tersebut. “Perkara ini mungkin belum berkekuatan hukum tetap, MA tidak akan menanggapi substansi perkaranya serta berpendapat tentang ‘hukum’-nya karena pendapat itu nantinya dapat mempengaruhi proses peradilan yang sedang berjalan. Ini semua untuk menjaga agar pengadilan di bawah MA tetap independen,” katanya.

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil meminta Bawas MA dan KY menelusuri kenapa majelis hakim bisa memberikan putusan seperti itu. Apakah ada faktor eksternal yang mempengaruhi majelis memutus perkara, misalnya mafia peradilan. “Bisa karena faktor internal seperti kapasitas hakim atau malah karena kedua faktor tersebut,” ujar Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI Arif Maulana dalam konfrerensi pers menyikapi putusan PN Jakarta Pusat terkait penundaan pemilu, Jum’at (3/3/2023).

Untuk itu, Koalisi mengusulkan sedikitnya 3 hal. Pertama, KPU RI harus melakukan perlawanan dengan melakukan upaya hukum banding secara serius karena putusan ini berbahaya bagi demokrasi. Kedua, mendesak MA dan KY memeriksa hakim yang menangani perkara ini terkait dugaan pelanggaran etik dan profesionalitas. Ketiga, MA, khususnya Pengadilan Tinggi yang nanti memeriksa perkara banding harus mengoreksi putusan tersebut.

Tags:

Berita Terkait