Tanpa Pengakuan Bersalah, Keadilan Restoratif Sulit Tercapai
Utama

Tanpa Pengakuan Bersalah, Keadilan Restoratif Sulit Tercapai

Pelibatan masyarakat sangat penting. Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung, suatu perkara dapat dihentikan penuntutannya demi tujuan keadilan restoratif. Tapi, ada syaratnya.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Menurut dia, Perja ini sama sekali tidak mengatur pentingnya pengakuan bersalah dari tersangka. Padahal, pengakuan menjadi prasyarat tercapainya keadilan restoratif. Pengakuan adalah awal dari pemikulan tanggung jawab. Keadilan restoratif tidak lepas dari tanggung jawab pelaku guna memulihkan korban dan masyarakat. “Keadilan restoratif merupakan suatu proses untuk menerima tanggung jawab,” tegas Agustinus.

Pelibatan masyarakat

Pelibatan masyarakat juga sangat penting dalam keadilan restoratif. Pada tataran filosofis, dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, Ufran, mengatakan kekuatan gerakan restorative justice adalah untuk menarik dan menginspirasi peserta yang pada akhirnya berakar pada sifat alamiah social kemanusiaan. Komunitas tidak mungkin dipinggirkan ketika melaksanakan proses restorative justice karena fungsi komunitas terjadi secara alamiah ketika orang-orang dipertemukan dalam saling ketergantungan dan timbal balik dalam hubungan akuntabilitas dan kepedulian. Artinya, para pihak yang terlibat sama-sama berperan sesuai porsinya agar pemulihan dapat dilakukan bukan saja antara pelaku dan korban, tetapi juga kepentingan masyarakat. “Inilah tepatnya praktik restoratif yang dirancang untuk dilakukan,” paparnya.

Pentingnya pelibatan masyarakat juga dapat dilihat dari latar belakang lahirnya gagasan restorative justice. Menurut Ufran, keadilan restoratif tidak muncul sebagai gerakan terpusat atau terkoordinasi, tetapi lebih sebagai inovasi dan eksprimen di banyak tempat dan keadaan antara lain karena kegagalan lembaga formal menyelesaikan persoalan. Lembaga formal peradilan dipandang tidak mampu menyelesaikan perkara secara utuh dan menyeluruh. Seolah-olah hanya lewat SPP maka ketertiban akan tercipta. Padahal, SPP sendiri memiliki cacat bawaan terkait monopoli ketertiban dan meninggalkan stigma pada korban dan pelaku. “SPP tidak berhasil membangun keuntuhan masyarakat,” ujarnya dalam webinar yang sama.

Agustinus berpandangan bahwa masyarakat berperan penting baik dalam kapasitasnya sebagai pihak terdampak (korban dan keluarganya) maupun dalam menentukan keberhasilan pemulihan pelaku. Masyarakat menentukan apakah kesepakatan restoratif merupakan suatu kesepakatan yang adil atau bukan. “Masyarakat menentukan keberhasilan integrasi pelaku,” ujarnya.

(Baca juga: Penyiksaan Saat Penyidikan Justru Menguntungkan Orang Bersalah, Kok Bisa?).

Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020 pada dasarnya juga mengakui pentingnya peran masyarakat. Pasal 4 ayat (1) huruf d menegaskan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilakukan dengan memperhatikan banyak hal antara lain ‘respon dan keharmonisan masyarakat’. Pasal 8 ayat (2) menambahkan bahwa upaya perdamaian dapat melibatkan keluarga korban dan keluarga tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang terkait sepanjang dianggap perlu.

Jaksa Agung ST Burhanuddin telah memberikan amanat kepada bawahannya untuk memehami dan mencermati makna filosofis di balik Perja No. 15 Tahun 2020. “Laksanakan ketentuan tersebut secara professional, proporsional dan akuntabel, serta berlandaskan pada hati nurani,” ujar Jaksa Agung dalam amanatnya pada pengambilan sumpah para pejabat Kejaksaan, di Jakarta, 5 Agustus lalu.

Tags:

Berita Terkait