Tantangan KPPU dalam Melaksanakan Fungsinya di Era Teknologi Informasi
Terbaru

Tantangan KPPU dalam Melaksanakan Fungsinya di Era Teknologi Informasi

Bisnis digital yang kian berkembang harus diselaraskan dengan pembentukan regulasi yang cepat dan tepat, serta meningkatkan kapasitas pengawasan melalui penguasaan teknologi, agar bisa memahami konsep penyelenggaraan bisnis digital.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 7 Menit

(multi-sided).

Pengawasan Bisnis Digital oleh KPPU

KPPU merupakan lembaga yang unik karena memiliki dua kewenangan yang diberikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“UU UMKM”). Sebagai suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain, KPPU diberikan kewenangan berdasarkan UU 5/1999 untuk mengawasi persaingan usaha antar pelaku usaha. Sementara itu, UU UMKM memberikan kewenangan KPPU untuk mengawasi pelaksanaan kemitraan seperti yang telah ditegaskan dalam Pasal 36 ayat (2) UU UMKM. Bahkan, di KPPU sendiri telah terdapat Direktorat Kemitraan untuk menindak pelanggaran kemitraan.

Dalam praktiknya, kini tidak bisa dipungkiri, baik kewenangan mengawasi persaingan usaha maupun mengawasi pelaksanaan kemitraan dengan UMKM, keduanya bersentuhan dengan ekonomi digital. Terkait pengawasan bisnis digital ini, menilik ketentuan yang diatur oleh UU UMKM, pelaku UMKM memiliki kedudukan mitra yang setara dengan usaha besar, yakni misalnya pelaku usaha penyedia teknologi. Untuk itu, usaha besar dilarang memiliki atau menguasai UMKM sebagai mitra usahanya.

Akan tetapi, perlu dipahami, hubungan hukum antar pelaku usaha dalam praktik dilandasi oleh adanya perjanjian yang tunduk pada ketentuan hukum perdata. Meski demikian, Yudho kembali menjelaskan, Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) menyebutkan adanya 4 syarat sahnya perjanjian, salah satunya suatu sebab yang tidak terlarang, di mana sebab itu dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum seperti yang disebutkan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.

Yudho menegaskan, meskipun termasuk sebagai ranah keperdataan, tapi jangan sampai dalam konteks perjanjian yang dilarang menurut undang-undang. Apabila perjanjian tersebut patut diduga melanggar ketentuan persaingan usaha, maka KPPU berwenang untuk menindak.

Sebagai informasi, dikutip dari Laporan Tahunan KPPU Tahun 2020, sepanjang tahun 2020 terdapat 13 laporan dugaan pelanggaran persaingan usaha yang masuk. Dari jumlah ini, 12 di antaranya merupakan laporan pelanggaran persaingan usaha dan 1 laporan pelanggaran kemitraan dengan persentase laporan ditutup sebesar 69%, laporan ditindaklanjuti dengan penyelidikan 23%, dan laporan ditindaklanjuti hingga pemeriksaan 8%. Atas laporan ini bisa diambil simpulan bahwa tidak semua laporan akan ditindaklanjuti, bahkan sebagian besar laporan tersebut ditutup.

Kemudian perlu dipahami, pada saat KPPU menjalankan tugasnya, terdapat prinsip per se illegal dan rule of reason. Untuk per se illegal secara tegas diatur normanya, sedangkan rule of reason menunggu akibat dari kegiatan bisnis tersebut. Jika kita melihat pertumbuhan bisnis digital itu kompleks, cepat, melibatkan banyak pihak, serta jaringan luas, namun sayangnya menurut Yudho seringkali regulasi itu tidak dapat mengikuti petumbuhan bisnis digital dengan cepat, dan memang regulasi yang mengatur spesifik mengenai bisnis digital belumlah banyak.

Selain regulasi, kewenangan KPPU terkait cakupan wilayah juga jadi faktor lain. Sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka 5 UU 5/1999, hanya ditunjukkan bagi pelaku usaha yang didirikan dan melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Padahal yang namanya bisnis digital itu tidak mengenal batas dan yurisdiksi, bisa saja kita berinteraksi dengan pelaku usaha di luar negeri. Oleh sebab itu, akan menjadi persoalan, apakah definisi pelaku usaha dalam UU 5/1999 bisa menjangkau mereka yang berada di luar Indonesia?

Tags: