Namun siapa sangka, di balik ketenaran brand minuman ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus adanya sesuatu yang tidak beres. Penyebabnya bukan kartel. KPPU justru mencium adanya monopoli. Tanpa banyak diketahui, KPPU sudah menangani kasus ini. Rabu (30/8) kemarin, KPPU sudah membacakan putusan.
KPPU memutuskan FNP terbukti melanggar Pasal 19 huruf a dan b dan Pasal 25 ayat (1) huruf a dan c UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Atas kesalahan itu, FNP diganjar membayar denda sebesar Rp11.467.500.000 rupiah.
“Menyatakan bahwa terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf a dan b dan Pasal 25 ayat (1) huruf a dan c UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,” kata Ketua Majelis M. Nawir Messi saat membacakan petikan putusan.
Pasal 19 huruf a dan b UU Antimonopoli menegaskan pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu.
Selanjutnya, Pasal 25 ayat (1) huruf a dan c menegaskan pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk: a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untukmemasuki pasar bersangkutan.
Dugaan tersebut terbukti berdasarkan fakta di persidangan yang sudah digelar sejak Februari tahun 2016. Menurut Messi, FNP membuat sebuah program bertemakan Pop Ice The Real Ice Blender sejak November 2014 Juli 2015 lalu. Program tersebut merupakan strategi FNP untuk memasarkan produknya.
Tetapi dalam pelaksanaannya, FNP memberikan insentif kepada distributor dan pedagang eceran, dan kios minuman berupa satu box Pop Ice untuk bulan pertama, dua buah kaos Pop Ice untuk bulan kedua, dan satu unit Blender untuk bulan ketiga. Insentif diberikan dengan memenuhi persyaratan FNP, yakni tidak menjual dan tidak memajang (display) produk lain selain Pop Ice. Bahkan untuk kios minuman, FNP melakukan pergantian terhadap satu renceng merek minuman lain dengan dua renceng Pop Ice.
Program tersebut dinilai Majelis Komisi menghambat produk pesaing yang serupa yakni Milkjuss milik PT Kurnia Alam Segar (KAS) dan S’café milik PT Karniel Pacific Indonesia (KPI). Program tersebut juga menghalangi akses pesaing untuk memasarkan produknya. Apalagi, FNP memiliki posisi dominan dalam persaingan minuman sachet olahan berbentuk serbuk yang mengandung susu dan berperisa buah, yakni sebesar 90,09 persen-94,30 persen.
Selain menghukum untuk membayar denda, KPPU juga meminta FNP untuk menghentikan program tersebut.
Menanggapi putusan tersebut, perwakilan FNP yang hadir di persidangan, Sukiman, enggan berkomentar. Ia berdalih masih harus membicarakan terlebih dahulu isi putusan. “Masih dipikirkan. Tadi kan sudah diberi kesempatan kami (FNP) untuk memikirkan putusan,” kata Sukiman.
Investigator KPPU Helmy Nurjamil mengapresiasi putusan majelis. Menurutnya putusan terhadap FNP sudah sesuai dengan harapan. “Sudah sesuai, tapi kalau soal denda itu sepenuhnya pertimbangan majelis,” pungkasnya.