Terkait Kewarganegaraan Ganda, Ini Harapan Perca Indonesia
Berita

Terkait Kewarganegaraan Ganda, Ini Harapan Perca Indonesia

Syarat untuk proses naturalisasi terasa memberatkan.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Flyer satu dasawarsa UU Kewarganegaraan. Foto: PERCA
Flyer satu dasawarsa UU Kewarganegaraan. Foto: PERCA
Talkshow memperingati Satu Dasawarsa UU Kewarganegaraan di Jakarta, Kamis (25/8), menjadi ajang curhat sejumlah pelaku perkawinan campuran. Mereka menceritakan pengalaman tak mengenakkan terkait implementasi UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Seorang ibu mengisahkan nasib dua anaknya yang lahir di Amerika Serikat dari orang tua yang dua-duanya Warga Negara Indonesia (WNI). Ibu lain mengisahkan masalah yang dihadapi anaknya yang lahir dan besar di Indonesia tapi sulit mendapatkan status WNI karena suaminya berkewarganegaraan Spanyol. Anaknya kini sudah berusia 31 tahun dan sulit mendapatkan status WNI meskipun anaknya lahir dan besar di Tanah Air.

Masyarakat Perkawinan Campuran (Perca) Indonesia sudah lama mencium beragam masalah kewarganegaraan ganda yang terjadi di lapangan. Selama sepuluh tahun UU Kewarganegaraan berlaku, ternyata masih ada kesulitan dan masalah yang dihadapi, khususnya pelaku perkawinan campuran dan keturunan mereka. Yang teranyar adalah kasus yang menimpa Gloria Natapradja Hamel.

Glorianyaris tak diikutkan dalam rombongan pasukan pengibar bendera di Istana Negara, 17 Agustus lalu, lantaran statusnya sebagai keturunan ayah Perancis dan ibu WNI. Ia masih memegang paspor Perancis. Meskipun akhirnya Gloria ikut, tak berarti isu kewarganegaraan berhenti. Masalah kewarganegaraan ganda seperti yang dihadapi Gloria ditengarai sudah lama terjadi. “Kasus seperti Gloria sudah lama ada, bukan sekarang saja,” ujar Ike Farida, advokat yang menikah dengan seorang pria Jepang.

Kasus kewarganegaraan Gloria, dan Menteri ESDM Archandra Tahar, semakin memantik debat tentang kewarganegaraan ganda. Momentum itulah yang dibaca Perca Indonesia untuk mengkaji ulang UU Kewarganegaraan. “Ini jadi ajang yang tepat untuk kilas balik mengkaji kembali UU Kewarganegaraan,” kata Juliani Luthan, Ketua Perca Indonesia.

Salah satu masalah yang mendapat perhatian Perca Indonesia adalah keharusan mendaftarkan anak yang lahir dari perkawinan campuran dan belum berusia 18 tahun atau belum kawin paling lambat empat tahun setelah UU Kewarganegaraan diundangkan. Jadi, jika ingin menjadi WNI mereka harus mendaftar paling lambat tahun 2010. Banyak yang lalai memenuhi keharusan mendaftar yang diatur dalam Pasal 41 UU Kewarganegaraan itu.

“Banyak anak yang terlewat untuk mendaftarkan dan mendapatkan dwikewarganegaraan karena tidak terlalu sadar dengan hadirnya Pasal 41,” kata Juliani.

Bagi mereka yang lalai atau lupa mendaftar, memang masih ada jalur naturalisasi karena mereka diperlakukan sebagai WNA murni. Walhasil, mereka harus memenuhi syarat. Misalnya, punya pekerjaan dan membayar 50 juta rupiah. Persyaratan inilah yang dinilai Perca Indonesia memberatkan. “Ini tidak realistis bagi anak-anak kawin campur yang pada saat ini ingin memilih menjadi WNI,” kata Juliani.

Ia berharap kebijakan Pemerintah terkait kewarganegaraan tidak mempersulit. Sebaliknya, Perca ingin regulasi yang dibuat lebih memudahkan agar pemenuhan hak-hak anak perkawinan campuran lebih terealisasi. Masyarakat Perca Indonesia mengharapkan Pemerintah mengkaji kebijakan yang mengakomodasi kebutuhan hak sipil anak-anak perkawinan campuran, termasuk anak-anak yang orang tuanya berasal dari negara penganut ius soli (kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir).

Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, Freddy Haris, berjanji untuk mempermudah urusan kewarganegaraan anak-anak yang lahir dari hasil perkawinan campuran. Ia juga mendukung perubahan UU Kewarganegaraan jika ada bagian-bagian yang sudah tidak sesuai.
Tags:

Berita Terkait