Tiga Catatan ICW, Transparansi dan Akuntabilitas Seleksi Penyelenggara Pemilu Provinsi
Terbaru

Tiga Catatan ICW, Transparansi dan Akuntabilitas Seleksi Penyelenggara Pemilu Provinsi

Mulai penentuan tim seleksi, hingga peran serta keterlibatan masyarakat.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Seperti, penelusuran rekam jejak calon tim seleksi. Hal yang sama juga ditujukan kepada Bawaslu, mengingat Pasal 11 ayat (1) Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) No.10 Tahun 2012 tentang Pembentukan, Pemberhentian, dan Penggantian Antar Waktu (PAW) Bawaslu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Lapangan, dan Panwaslu Luar Negeri. Beleid tersebut mengamanatkan Bawaslu agar membentuk tim seleksi penjaringan anggota tingkat daerah.

Tak hanya itu, lanjut Kurnia, proses penjaringan tim seleksi selayaknya tak sekedar berbasis dokumen formil semata. Pemaknaan Pasal 17 ayat (2) juncto Pasal 22 ayat (2) UU 22/20227 tak sekadar mengandalkan keterangan hukum seperti calon tidak pernah dihukum atau pengakuan bukan kader partai. Namun penelusuran pun harus lebih jauh. Seperti rekam jejak pelanggaran etik untuk indikator integritas dan kedekatan kandidat dengan partai politik.

“Hal ini untuk memastikan cara pandang tim seleksi saat menjaring anggota KPU maupun Bawaslu objektif dan independen,” ujarnya.

Kedua, proses kerja tim seleksi harus mengakomodir partisipasi masyarakat. Merujuk Pasal 19 ayat (3) huruf f  UU 22/2007 yang intinya perlu masukan dan tanggapan masyarakat dikonkritkan bentuknya. Seperti tim seleksi dapat membuka kanal pengaduan secara luring maupun daring bagi masyarakat yang hendak memberikan catatan dan rekam jejak kandidat. Baginya, aturan tersebut tak boleh sekedar normatif dan menafikan ruang partisipasi publik.

Tak hanya itu, Pasal 19 ayat (3) huruf g UU 22/2007 harus diumumkan seluas-luasnya. Bahkan tim seleksi dapat mengundang sejumlah elemen secara langsung. Mulai dari organisasi masyarakat sipil dan akademisi, juga menyiarkan proses wawancara kandidat. Sesaat setelah tim seleksi terbentuk, organ itu tak hanya pasif menunggu masyarakat mendaftar, tapi proaktif mencari kandidat unggul dengan tetap memastikan prinsip objektivitas dan independen.

“Dengan itu dilakukan, maka potensi menghasilkan kandidat yang profesional dan berintegritas semakin besar,” katanya.

Ketiga, pemilihan akhir yang berujung pada keputusan KPU dan Bawaslu. Menurutnya, pada fase tersebut, partisipasi masyarakat memiliki peran penting. Sebab, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana diatur Pasal 21 ayat (1) UU 22/2007 harus terselenggara dengan baik. Bahkan, sebelum proses berjalan, KPU maupun Bawaslu dapat menghimpun terlebih dahulu informasi dari masyarakat.

“Agar selanjutnya bisa dijadikan bahan pertimbangan saat menggelar uji kelayakan dan kepatutan,” ujarnya.

Sementara Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Fisip Universitas Indonesia., Hurriyah menambahkan ada banyak hal yang perlu dilakukan. Sebab, pekerjaan rumah dalam penyelenggaraan pemilu serentak cukup banyak. Karenanya, perlu upaya meningkatkan dari hulu ke hilir sejak proses rekrutmen hingga keterpilihan. Dia menilai upaya memaksimalkan penyelenggaraan pemilu tak hanya berada di pundak penyelenggara pemilu, tapi menjadi kepentingan bersama. “Ada banyak tantangan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait