Tiga Catatan Koalisi Soal Penggusuran Paksa di Desa Kalasey Minahasa
Terbaru

Tiga Catatan Koalisi Soal Penggusuran Paksa di Desa Kalasey Minahasa

Mengabaikan beberapa hal. Seperti musyawarah yang tulus, pencarian solusi, dan berbagai ketentuan lain terkait syarat-syarat perlindungan bagi warga negara. Koalisi mendesak Kapolri agar memerintahkan jajarannya menegakkan hukum dengan mengusut dugana pidana yang dilakukan anggota kepolisian setempat.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Tangkapan gambar peristiwa penghadangan aparat oleh warga dari video yang diterima dari YLBHI. Foto: Istimewa
Tangkapan gambar peristiwa penghadangan aparat oleh warga dari video yang diterima dari YLBHI. Foto: Istimewa

Penggusuran paksa yang dilakukan pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dengan bantuan ratusan aparat kepolisian berujung penangkapan terhadap warga di Desa Kalasey Dua, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengecam keras penggunaan kekuatan berlebihan (excessive use of force).

Anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Hussein Ahmad mengatakan, informasi yang beredar menyebutkan warga setempat mengalami kekerasan saat mempertahankan haknya sebagai aset satu-satunya dari upaya penggusuran paksa dengan dalih aset pemerintah provinsi Sulawesi Utara. Insiden kekerasan yang terjadi Senin (7/11/2022) kemarin, dengan berbagai tindakan abuse of power aparat kepolisian dengan menggunakan senjata lengkap.

“Memaksa masuk lahan pertanian dan pemukiman warga, serta beberapa kali menembakkan gas air mata kepada massa aksi,” ujarnya melalui keterangan tertulisnya, Selasa (8/11/2022).

Akibatnya, warga dan massa yang melakukan aksi solidaritas mengalami luka. Setidaknya, kurang lebih 40 orang dicokok secara sewenang-wenang diboyong ke Polrestas Manado. Diantaranya masyarakat yang berprofesi petani, mahasiswa, dan pengabdi bantuan hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado yang sedang menjalankan kerja-kerja advokasi bantuan hukum.

Peneliti Imparsial ini melanjutkan insiden tersebut menambah deretan panjang penggunaan aparat kepolisian yang menyimpang dari mandat konstitusionalnya sebagai alat negara melakukan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat serta melakukan penegakan hukum. Terhadap peristiwa ini, Koalisi memberikan catatan.

Anggota koalisi lainnya, Fadhil Alfathan melanjutkan tiga catatan yang perlu menjadi perhatian terhadap insiden tersebut. Pertama, upaya penggusuran paksa yang disertai kekerasan dan intimidasi oleh aparat kepolisian secara gamblang mengabaikan beberapa hal. Seperti musyawarah yang tulus, pencarian solusi, dan berbagai ketentuan lain terkait syarat-syarat perlindungan bagi warga dalamKomentar Umum Nomor 7 tentang Hak Atas Perumahan yang Layak (Pasal 11 Ayat (1) Konvensi Hak Ekonomi Sosial dan Budaya(General Comment No. 7 on the Right to Adequate Housing (Article 11(1) of the Covenant).

Apalagi, kasus sengketa tersebut masih dalam proses di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado dengan perkara nomor: 9/G/2022/PTUN.Mdo. Tak hanya itu, ada pula Resolusi Komisi HAM PBB Nomor 77 Tahun 1993 (Commission on Human Rights Resolution 1993/77) yang menegaskan, penggusuran paksa adalah “gross violation of human rights” atau pelanggaran HAM berat. 

Tags:

Berita Terkait