Tiga Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Merevisi UU Pembentukan Peraturan
Utama

Tiga Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Merevisi UU Pembentukan Peraturan

Pemerintah dan DPR harus menjadikan putusan MK sebagai momentum dalam perbaikan tata kelola pembentukan peraturan perundangan menyeluruh, tidak hanya sekedar memasukan metode omnibus law.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Ada tiga hal yang harus diperhatikan DPR dan pemerintah dalam upaya merevisi UU 12/2011. Pertama, pemerintah dan DPR harus cermat dalam membahas prosedur pembentukan UU dengan pendekatan omnibus law. Terdapat banyak hal yang harus dievaluasi dari pembentukan UU 11/2020 dengan menggunakan pendekatan dan metode omnibus law.

Seperti aspek prosedur dan tata cara pembentukannya. Kemudian tahap-tahapannya hingga pembahasan termasuk jangkauan materi muatannya. Begitupula teknik/format naskah peraturan perundang-undangan, jenis peraturan yang dapat disusun menggunakan pendekatan ini. Termasuk pula kementerian/lembaga yang dapat mengkoordinasi dan mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut.

Kedua, revisi UU 12/2011 semestinya dilihat sebagai upaya pembenahan tata kelola regulasi secara komprehensif. Artinya, revisi seharusnya mengatur materi lain yang diperlukan dalam mendukung tata kelola regulasi. Seperti soal perencanaan, materi muatan, harmonisasi, hingga kelembagaan tata kelola peraturan perundang-undangan.  

Dia menilai bila revisi UU 12/2011 dilakukan hanya ingin mengatur soal omnibus law, maka tidak akan terjadi perbaikan secara menyeluruh tata kelola peraturan perundang-undangan. Dia khawatir bila hanya ingin memasukkan omnibus law bakal bernasib sama seperti UU No.15 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas UU 12/2011 sebelumnya.  

Ketiga, Pemerintah dan DPR harus melibatkan partisipasi masyarakat yang luas dalam menyusun revisi UU 12/2011. Sebab, dalam Pasal 96 UU 12/2011 mengatur partispasi masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan maupun tulisan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. 

Untuk itu, Pemerintah dan DPR, semestinya memanfaatkan putusan MK sebagai momentum dalam upaya perbaikan mekanisme tata kelola pembentukan peraturan perundang-undangan, bukan hanya mengatur prosedur pembahasan metode omnibus law. “Jangan sampai Pemerintah dan DPR memanfaatkan putusan MK ini hanya mengatur prosedur omnibus law sembarangan. Apalagi sekedar mengukuhkan praktik buruk proses pembentukan UU Cipta Kerja,” katanya.

Tags:

Berita Terkait