Tiga Masalah dalam Pembentukan RUU Kesehatan Omnibus Law
Terbaru

Tiga Masalah dalam Pembentukan RUU Kesehatan Omnibus Law

Melanggengkan praktik buruk pembentukan UU yang tertutup dan tidak partisipatif.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi peraturan
Ilustrasi peraturan

Badan Legislasi bergegas menyusun naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesehatan dengan menggunakan pendekatan omnibus law. Kendati banyak penolakan dari organisasi profesi tenaga Kesehatan terkait persoalan pembentukan peraturan perundang-undangan, DPR sepertinya terus tancap gas.

“Pemerintah dan DPR terus mengulang kesalahan yang sama dalam membentuk peraturan,” ujar Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jihan Fauziah Hamdi, Jum’at (9/12/2022).

Sejak munculnya informasi adanya perencanaan RUU Kesehatan dengan omnibus law, secara serentak organisasi profesi tenaga kesehatan menolak. Seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI). Alasan penolakan intinya karena prosesnya yang tidak partisipatif dan tertutup.

Menurutnya, melihat babak baru pembentukan RUU sektor kesehatan dengan omnibus law, LBH Jakarta menilai ada sejumlah persoalan. Pertama, proses menggunakan pendekatan omnibus law dalam pembentukan RUU berpotensi melanggengkan praktik pembentukan perundang-undangan buruk yang tidak transparan dan partisipatif. Sebab, draf RUU Kesehatan yang telah diposting di laman website DPR ternyata belum melibatkan organisasi profesi tenaga kesehatan secara menyeluruh.

Jihan melihat proses legislasi pembentukan RUU Kesehatan masih minim partisipasi terutama kelompok profesi di bidang kesehatan. Menurutnya, pola tersebut seperti halnya saat pembentukan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan RUU tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sedang berproses.

Mengacu Pasal 96 UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur soal mekanisme masyarakat dapat memberikan masukan dalam setiap tahap pembentukan peraturan perundang-undangan. Tapi faktanya masyarakat sulit mendapatkan akses perihal informasi berapa banyak elemen publik yang diundang memberikan masukan.

Kemudian informasi penyusunan naskah akademik yang berbasis analisis dampak regulasi (regulatory impact analysis). Bahkan, RUU yang beredar di masyarakat pun simpang siur kebenarannya. Tanpa keterbukaan, publik bakalan sulit berpartisipasi dalam proses pembentukan perundang-undangan. Seharusnya DPR, membuka ruang pembahasan seluas-luasnya terhadap peran serta masyarakat berpartisipasi secara aktif.

Tags:

Berita Terkait