Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Targetkan 11 Kasus yang Diselesaikan
Terbaru

Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Targetkan 11 Kasus yang Diselesaikan

Mandat Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat meliputi pengungkapan; pemulihan korban; dan pencegahan agar peristiwa yang sama tidak berulang.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) No.17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu membawa harapan baru terhadap upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang selama ini mandek. Wakil Ketua Tim Pelaksana Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Ifdhal Kasim, mengatakan beleid itu berisi sedikitnya 3 mandat utama yakni pengungkapan, pemulihan korban, dan pencegahan.

Pengungkapan yang dimaksud Keppres menurut Ifdhal bukan investigasi dalam rangka penegakan hukum. Tapi mengungkapkan peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi, misalnya bagaimana terjadinya, latar belakang, dan mengidentifikasi dampak peristiwa itu terhadap korban. “Ini hal utama dalam pengungkapan yang dimaksud Keppres. Paling penting mengidentifikasi dampaknya peristiwa itu bagi korban,” kata Ifdhal Kasim dalam diskusi berjudul “Keppres sebagai Upaya Percepatan Pemenuhan Hak-Hak Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu”, Kamis (20/10/2022) lalu.

Pemulihan yang dimaksud Keppres yakni ditujukan bagi korban dan keluarganya. Bahkan Ifdhal mengingatkan jika mengacu instrumen HAM internasional pemulihan itu juga termasuk orang dekat korban. Terakhir, pencegahan yang diharapkan agar peristiwa pelanggaran HAM berat serupa tidak terjadi lagi di masa depan.

Bagaimana kerja yang akan dilakukan tim? Ifdhal menjelaskan terkait proses pengungkapan akan dilakukan upaya memenuhi hak korban untuk mengetahui kebenaran atas terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat yang dialami. Tim akan menggelar kegiatan dalam bentuk dengar pendapat publik yang melibatkan komunitas korban dan pendampingnya. Serta mengkaji dokumen yang relevan termasuk dokumen resmi dari lembaga negara, seperti Komnas HAM, LPSK, militer, dan lainnya.

Dalam kegiatan dengar pendapat publik itu nanti tim juga akan meminta pendapat korban tentang apa harapan dan keinginan mereka terkait pemulihan. Bisa saja mereka mengharapkan ada pemulihan nama baik, reparasi, beasiswa dan lainnya. Mengenai pencegahan, bentuknya nanti rekomendasi perbaikan terhadap para pihak terkait, misalnya terhadap sistem pendidikan di TNI dan Polri. Pembenahan kelembagaan dan lainnya karena ini akan terkait dari temuan dalam pengungkapan kasus.

“Karena dalam menulis laporan yang dibuat akan diperoleh polanya dan institusi mana yang berperan dalam kasus ini dan itu yang jadi sasaran rekomendasi. Nanti laporan akhir, berisi rekomendasi spesifik,” ujar Ketua Komnas HAM periode 2007-2012 itu.

Ifdhal mengatakan ada 11 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang akan diungkap dan dipulihkan melalui tim. Meliputi peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985), Tragedi Talangsari (1989), Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989), Tragedi 1965 (1966-1975), Penghilangan Orang Secara Paksa (1997-1998), Mei Berdarah (1998), Trisakti-Semanggi I dan II (1998-1999), Pembantaian Dukun Santet (1998-1999), Penembakan Simpang KKA (1999), Penembakan Wasior dan Wamena (2001-2002), dan Penembakan Paniai (2014).

Hasil kerja tim nanti setidaknya ada 2 hal. Pertama, laporan final tentang pelanggaran HAM berat yang merupakan pengungkapan kebenaran untuk memenuhi kewajiban negara. Kedua, rekomendasi spesifik terhadap pemulihan bagi korban dan pencegahan agar kasus pelanggaran HAM berat tidak berulang. “Kami berupaya menghasilkan rekomendasi yang spesifik, sehingga bisa dilaksanakan dan diimplementasikan kepada korban secara langsung,” ujar Iqbal.

Ifdhal menegaskan mekanisme yang dikerjakan tim ini tidak menghilangkan proses penyelesaian pelanggaran HAM berat secara pidana melalui pengadilan HAM. Kebijakan ini juga tidak melanggengkan impunitas karena tidak hanya bertumpu pada pemenuhan hak untuk keadilan, tapi juga reparasi dan pengungkapan kebenaran.

“Kalau ketiga hak itu tidak dilaksanakan barulah bisa dikatakan terjadi impunitas,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait