Tips Mendapatkan LoA S2 dan S3 dari FH Terkemuka di Luar Negeri
Berita

Tips Mendapatkan LoA S2 dan S3 dari FH Terkemuka di Luar Negeri

"Karena pada akhirnya hasil tidak akan pernah berbohong terhadap usaha yang sudah kita lakukan"

CR-25
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pekan lalu, Kementerian Keuangan  merilis jadwal pendaftaran untuk beasiswa LPDP yang kerap ditunggu-tunggu para pejuang beasiswa. Salah satu persyaratan penunjang jelas adalah kepemilikan Letter of Acceptance (LoA) atau dikenal dengan surat pernyataan telah diterima di sebuah perguruan tinggi, baik LoA dengan persyaratan tertentu (conditional)maupun tanpa syarat (unconditional).

 

Pan Mohamad Faiz alumni Faculty of Law, the University of Delhi untuk program Master of Comparative Laws (M.C.L) dengan konsentrasi Comparative Constitutional Law (Perbandingan Hukum Tata Negara), membagikan pengalamannya kepada hukumonline, Senin (7/5), saat dulu memperjuangkan LoA di universitas terkemuka tersebut.

 

Menurut Faiz, hal pertama yang harus diperhatikan oleh pejuang LoA adalah mengenali jenis program perkuliahan yang akan diincar di kampus tujuan. Sederhananya, kata Faiz, program tersebut dibagi menjadi dua, yakni by course dan by research. Proses yang harus ditempuh untuk mendapatkan LoA antara program yang by course dan by research jelas berbeda.

 

Model perkuliahan untuk program by course kurang lebih seperti perkuliahan S1 dan ada banyak mata kuliah yang akan dipelajari. Masing-masing kampus di luar negeri juga memiliki kebijakan tersendiri dalam penerapan program by course ini. Ada yang mensyaratkan untuk membuat tesis S2 dan ada yang tidak mensyaratkan tesis sama sekali, seperti program by course murni. Sebagai pengganti fungsi tesis, mahasiswa yang mengambil program by course murni akan diminta untuk  mengerjakan paper sebagai pengganti tugas akhir.

 

Sehingga untuk mendapatkan LoA pada program perkuliahan by course ini tidak memerlukan persyaratan seperti keharusan mengajukan proposal riset, melainkan langsung ke kampus untuk mengajukan permohonan untuk mendaftar karena memang tujuannya untuk belajar by course bukan by research.

 

“Tinggal nanti dilihat nilai ijazahnya, transkip akademiknya dan yang paling penting kalau di Luar Negeri itu sertifikat kemampuan berbahasa Inggrisnya. Karena pastinya pihak kampus akan mempertanyakan jika dia diterima di kampus kami bisakah dia beradaptasi dengan model pembelajaran dari bahasa yang digunakan masing-masing kampus,” jelas Faiz.

 

Adapun untuk model perkuliahan by research, sambung Faiz, mahasiswa akan terfokus untuk meneliti tentang satu topik yang sejak awal sudah ditentukan tentang apa. Misalnya, kalau untuk master biasanya 1,5 tahun, bisa diawali dengan beberapa kali kelas kemudian langsung melakukan riset tentang topik tersebut. Sedangkan untuk S3 biasanya 4 tahun, ada yang mensyaratkan untuk ikut kelas dulu beberapa kali terkait metode penulisan dan ada juga yang sejak semester awal sudah langsung melakukan riset.

 

(Baca Juga: Empat Langkah Sebelum Ambil Beasiswa S2 ke Luar Negeri)

 

“Intinya, kalau by course lebih banyak komponen materi yang dipelajari di kelas sedangkan kalau by research dia langsung melakukan penelitian terhadap topik yang telah diajukan,” terang Faiz yang juga alumni School of Law, the University of Queensland untuk program Doctor of Philosophy (Ph.D.) dengan konsentrasi Constitutional Law (Hukum Tata Negara).

 

Adapun proses untuk mendapatkan LoA bagi yang berkeinginan mengambil program by research ini, jelas Faiz, maka calon mahasiswa saat mengajukan permohonan pendaftaran harus mencari supervisor yang akan membimbing penelitiannya nanti. “Jadi kita yang mencari supervisor-nya sekaligus kita juga yang menyampaikan draft proposal kita,” tukas Faiz.

 

Lebih lanjut dijabarkan Faiz, ada dua model yang bisa digunakan untuk menemukan supervisor yang tepat untuk fokus penelitian yang akan kita ambil, yakni:

  1. Browsing siapa kira-kira pembimbing yang cocok untuk penelitian yang ingin kita lakukan di Kampus tujuan. Dalam model ini, kita bisa langsung mengajukan permohonan pendampingan kepada supervisor yang kita kehendaki, bisa dengan langsung berkirim e-mail atau bisa meminta bantuan fasilitator dari pihak kampus.
  1. Minta bantuan pihak kampus. Di sini kita bisa meminta bantuan pihak kampus untuk menentukan siapa yang sekiranya cocok dan bisa direkomendasikan untuk penelitian yang ingin kita lakukan.

 

Alumni International and European Public Law di Erasmus Rotterdam University, Kartini Laras Makmur, juga menceritakan kepada hukumonline terkait beberapa pengalamannya saat berjuang mendapatkan LoA di kampus impiannya. Kartini mengaku tidak hanya mencoba mendaftar pada satu kampus tujuan saja, saat itu Kartini mencoba mendaftar di beberapa kampus di United Kingdom (UK) maupun di Belanda.

 

(Baca Juga: Mau Lulus dengan Predikat Cum Laude? Coba Tips Ini)

 

“Aku coba daftar di banyak kampus, baru setelah diterima di kampus-kampus tersebut aku memantapkan diri untuk pilih kampus yang mana,” kenang Kartini.

 

Kartini yang juga merupakan salah seorang awardee LPDP mengaku bahwa tantangan terbesar baginya saat mengajukan permohonan LoA kala itu adalah bagaimana bisa menulis essay yang bagus. Karena untuk tembus LoA program master (S2), kata Kartini, tidak menggunakan seleksi wawancara, sehingga segala potensi yang kita miliki harus betul-betul tertuang dengan baik dan menggunakan bahasa yang baik pula melalui essay yang kita tulis.

 

“Jadi dulu aku banyak-banyak tanya ke temen-temen yang sudah lebih dulu mendapatkan LoA atau meminta bantuan koreksi bahasa dari senior-senior yang bahasa inggrisnya bagus,” kata Kartini.

 

(Baca Juga: Cara Sukses Hadapi Ujian di Fakultas Hukum)

 

Berdasarkan pengamatan Kartini, kekuatan essay merupakan standar yang paling pertama harus diperhatikan para pejuang LoA. Melalui essay tersebut, sambung Kartini, kita harus mampu menceritakan potensi kita dengan segala prestasi yang sudah kita raih dan kenapa kita layak untuk melanjutkan kuliah di kampus tersebut. Tentunya harus dipadu padankan pula dengan penggunaan bahasa yang baik, grammatikal dan pemilihan kata secara tepat.

 

“Aku adalah orang yang waktu itu bahasa Inggrisnya biasa-biasa saja,” ujar Kartini.

 

Bahkan, Kartini pernah berada dalam kondisi merasa tidak ada perubahan terhadap kemampuan bahasa Inggrisnya saat mengikuti pre-test saat les dengan hasil akhir yang ia terima saat mengambil real test IELTS.

 

Akhirnya, Kartini memilih untuk belajar sendiri, mencari berbagai sumber pembelajaran melalui internet, meluangkan waktunya minimal 2 jam per hari untuk latihan soal hingga meminta bantuan teman-temannya untuk memperkuat kemampuan bahasa Inggrisnya dari segi tata bahasa.

 

Menariknya, Kartini bahkan mengikuti real test IELTS tidak lebih dari sebulan sebelum tenggat terakhir pendaftaran beasiswa LPDP. Tidak hanya real test IELTS, lanjut Kartini, bahkan cek kesehatan, mengurus surat rekomendasi, menulis essay-essay yang diminta oleh LPDP, itu semua ia persiapkan tidak lebih dari satu bulan.

 

“Yang penting komitmen, kalau memang prinsipnya sesuatu itu pantas aku dapatkan, aku akan berusaha bagaimana supaya aku bisa mendapatkan semua kepantasan itu. Karena hasil memang pada akhirnya tidak akan pernah berbohong terhadap usaha yang sudah kita lakukan,” pungkas Kartini.

 

Tags:

Berita Terkait