Uang Pengganti (1): ‘Devisa' Negara Tanpa Aturan Jelas
Fokus

Uang Pengganti (1): ‘Devisa' Negara Tanpa Aturan Jelas

Pada prakteknya, tidak ada keseragaman dalam penerapan pidana uang pengganti karena pada akhirnya semua dikembalikan pada diskresi penafsiran hakim.

Rzk
Bacaan 2 Menit

 

Bagaimana tidak, begitu seseorang masuk dalam dakwaan korupsi maka mau tidak mau ia harus berhadapan dengan sanksi pidana yang berlapis-lapis. UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), misalnya, selain pidana pokok berupa pidana penjara dan denda, juga mengancam terdakwa korupsi dengan pidana tambahan. Pasal 34 huruf c menyebutkan salah satu bentuk pidana tambahan tersebut adalah berupa uang pengganti. Konsep yang kurang lebih sama dengan sedikit modifikasi dianut oleh UU penggantinya yakni UU No. 31 Tahun 1999 yang kemudian direvisi lagi menjadi UU No. 20 Tahun 2001.

 

Dengan aturan tersebut, orang-orang diharapkan akan mikir dua kali untuk korupsi walaupun kenyataannya sekarang mereka masih kuat bayar, kata Prof. Romli, salah satu ahli hukum yang turut membidani lahirnya UU No. 31 Tahun 1999. 

 

Pertimbangan lain yang melatarbelakangi munculnya konsep pidana uang pengganti adalah dalam rangka mengembalikan uang negara yang melayang akibat suatu tipikor. Pemikiran ini sejalan dengan definisi tipikor. Menurut UU, salah satu unsur tipikor adalah adanya tindakan yang ‘merugikan keuangan negara'. Dengan adanya unsur ini, maka setiap terjadi suatu tipikor pasti akan menimbulkan kerugian pada keuangan negara.

 

Oleh karena itu, adalah suatu hal yang wajar apabila pemerintah kemudian menerapkan sebuah kebijakan -dalam hal ini tertuang dalam produk perundang-undangan- dalam mengupayakan kembalinya uang negara yang hilang akibat tipikor.

 

Kalau dilihat dari jumlahnya, jumlah dana yang diharapkan dapat diperoleh dari penerapan pidana uang pengganti memang tidak sedikit. Sebagai gambaran, menurut data Kejaksaan RI saja, ada sekitar Rp 5,317 triliun tersebar di 18 kejaksaan tinggi di Indonesia meliputi 227 putusan perkara, yang belum dieksekusi oleh Kejaksaan (per September 2005).

 

Uang Pengganti

Sisa Belum tertagih tahun 2004               Rp. 2. 889.892.947.825

Masuk hingga April 2005                                Rp.         4.320.383.763

Jumlah                                                  Rp. 2. 894.213.331.588

Dieksekusi                                             Rp.            500.000.000

Sisa                                                      Rp. 2. 893.713.331.588

 

Tambahan

Akurasi data s/d tahun 2005 (untuk uang pengganti) sebesar Rp. 5, 317 Triliun

Sumber:  Laporan Rapat Kerja DPR RI dengan Jaksa Agung RI , 1 September 2005

 

Masalah Besaran uang pengganti

Kontras dengan beban ‘mulia' yang diembannya, pengaturan mengenai pidana uang pengganti ternyata justru tidak jelas. UU No. 3 Tahun 1971, praktis hanya mengatur mengenai uang pengganti dalam satu pasal yakni Pasal 34 huruf c. Kondisi yang sama juga tergambar pada UU penggantinya, UU No. 31 Tahun 1999 serta perubahannya UU No. 20 Tahun 2001.

Tags: