Uang Pengganti (1): ‘Devisa' Negara Tanpa Aturan Jelas
Fokus

Uang Pengganti (1): ‘Devisa' Negara Tanpa Aturan Jelas

Pada prakteknya, tidak ada keseragaman dalam penerapan pidana uang pengganti karena pada akhirnya semua dikembalikan pada diskresi penafsiran hakim.

Rzk
Bacaan 2 Menit

 

Saya lebih setuju kalau uang pengganti disamakan saja dengan kerugian negara yang ditimbulkan, usul Yoseph.

 

Ide yang digagas oleh Yoseph memang terdengar sangat logis dan sederhana dalam penerapannya. Dengan menetapkan besaran uang pengganti sama dengan jumlah kerugian negara maka sisi positif yang dapat diambil adalah metode ini tidak hanya mengurangi kerepotan hakim untuk memilah dan menghitung aset si terpidana karena besarannya sudah jelas, tetapi juga memudahkan pengembalian keuangan negara yang disebabkan oleh tipikor.

 

Namun begitu, efektivitas penerapan metode ini tentunya akan sangat bergantung pada perhitungan kerugian negara yang nantinya disertakan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ketidakcermatan dalam perhitungan kerugian negara justru dapat menyebabkan target pengembalian uang negara yang telah dikorup sulit tercapai.

 

Berdasarkan penelusuran penulis, tidak ada aturan yang secara spesifik mengatur mengenai siapa yang berwenang atau ditugasi untuk menghitung kerugian negara. Namun, menurut penjelasan salah seorang JPU Baringin Sianturi -yang tengah menangani kasus dugaan korupsi Bank Mandiri- pada prakteknya keputusan mengenai besaran kerugian negara ditentukan oleh JPU.

 

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang secara keahlian sebenarnya memiliki kompetensi –diluar pemeriksaan yang mereka lakukan sendiri- hanya akan melakukan perhitungan kerugian negara apabila bantuannya memang dibutuhkan oleh pihak kejaksaan. Kalaupun BPK atau BPKP melakukan perhitungan, pada akhirnya keputusan akhir tetap berada di tangan JPU.

 

Salah satu contoh kasus korupsi yang dapat menggambarkan perbedaan perhitungan kerugian negara antara BPK dengan Kejaksaan adalah kasus mantan Bupati Kepulauan Riau (Kepri) Huzrin Hood. Dimana dalam kasus tersebut, jumlah kerugian negara yang ditemukan oleh BPK adalah sebesar Rp 87,2 miliar, sementara temuan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau hanya sebesar Rp 4,3 miliar. Tanpa ada alasan yang jelas tentang mengapa perbedaan tersebut terjadi, akhirnya, perhitungan Kejati Riau lah yang dipakai.

 

Pada prakteknya, penentuan besaran uang pengganti diserahkan sepenuhnya pada penafsiran hakim. Dalam beberapa kasus korupsi, besaran uang pengganti disamakan dengan kerugian negara yang timbul. Sementara, dalam beberapa kasus lainnya, besaran uang pengganti sangat bervariasi walaupun tidak melebihi kerugian negara yang didakwakan. Besaran uang pengganti yang bervariasi dapat disebabkan beberapa faktor seperti hakim memiliki perhitungan tersendiri, sebagian hasil korupsi sudah dikembalikan atau tipikor dilakukan oleh lebih dari satu orang sehingga pidana uang pengganti dibebankan bersama-sama.

Halaman Selanjutnya:
Tags: