Upaya Menggantang Asap: Deregulasi dan Debirokratisasi
Kolom

Upaya Menggantang Asap: Deregulasi dan Debirokratisasi

Ketidakpastian hukum, setidaknya di Indonesia, tidak serta merta mengakibatkan keruntuhan dunia seperti yang dibayangkan dalam adagium Justitia et Pereat Mundus.

Bacaan 6 Menit
Upaya Menggantang Asap: Deregulasi dan Debirokratisasi
Hukumonline

Dua tiga tahun terakhir, sejumlah kebijakan (policy) dibuat pemerintah Indonesia untuk mengurangi tidak saja jumlah (kuantitatif) dari peraturan perundang-undangan (+ regulasi) tetapi juga (mungkin) kerumitan menemukan apa yang seharusnya menjadi hukum. Mencari dan menemukan hukum menjadi pekerjaan berat di tengah-tengah kelimpahan peraturan perundang-undangan maupun turunannya. Hasil akhirnya adalah keraguan-ketidakpastian [hukum], tidak saja bagi pencari keadilan secara umum, tetapi lebih menerbitkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan sekarang Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan pendekatan omnibus.

Ikhtiar yang terucap dan didengung-dengungkan kemudian adalah kebijakan deregulasi dan debirokratisasi. Dikatakan dan mungkin sekaligus diakui bahwa banyaknya peraturan perundang-undangan dan regulasi (yang terus menerus diproduksi pembuat undang-undang, pemerintah) – mengindikasikan tidak saja kehendak negara cq pemerintah untuk mengatur segala hal – tetapi sekaligus menumbuhkan birokrasi (cratein; kekuasaan biro; meja) yang justru berhasil mengembangkan cara kerja dan regulasi, termasuk prosedur tetap (dalam bentuk juklak-juknis) yang kerap memacetkan kehidupan rakyat atau kembali lagi khususnya kegiatan perekonomian.

Adalah semangat birokrasi untuk mengatur, memproduksi regulasi, tampaknya justru menimbulkan ketidakpastian. Dalam semangat itu, mungkin, dapat dipahami sejumlah kata kunci dari kebijakan bongkar pasang struktur organisasi dan tata kerja (SOTK) kementerian dan terakhir penggunaan (metoda) omnibus [modifikasi dari kodifikasi] untuk mengurangi-mengubah sekian banyak peraturan perundang-undangan, sekalipun serta merta memunculkan kekusutan pencarian-penemuan hukum yang tetap sama rumit seperti sebelumnya. 

Tulisan ini akan mencoba mengurai dan menelusuri perkaitan antara perkembangan birokrasi, pertumbuhan eksponensial peraturan perundang-undangan dan regulasi serta kepastian-ketidakpastian hukum.

Baca juga:

Negara-pemerintah-birokrasi

Konsep atau besaran paling abstak adalah negara (state) yang kerap dikaitkan dengan konsep yang sama abstraknya: rakyat (people) atau nation (bangsa). Kita kenal misalnya ungkapan bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan dan membentuk negara Indonesia. Atau presiden atas nama negara menyatakan penyesalan atas pelanggaran hak asasi manusia masa lalu.

Di dunia hukum, kita kenal gagasan negara hukum (rechtsstaat) yang acap dipertukarkan dengan rule of law. Selain itu, pengertian negara seringkali dipersamakan begitu saja dengan pemerintah (government). Namun pada saat sama, keduanya dapat dan harus dibedakan: pemerintah dapat berganti-ganti untuk negara yang sama.

Kendati begitu, dalam kehidupan sehari-hari, kita manusia biasa, sebagai warga-negara (citizen), baik untuk kepentingan pribadi atau sebagai pengusaha tidak berhadapan dengan negara atau pemerintah. Sebagai warga negara untuk mendapatkan layanan publik kita akan berhadapan dengan pegawai negeri (aparatur sipil negara) di dalam ruangan, di belakang meja (biro) atau loket, dan yang dapat memerintahkan kita untuk melakukan apa saja. Bagaimana mereka yang duduk di belakang biro melaksanakan-mewujudkan-mengimplementasikan kewenangan (authority) atau kekuasaan (power) jelas berpengaruh terhadap kehidupan warga negara yang membutuhkan layanan yang hanya mereka yang bisa dan boleh berikan. Pada tahap ini kekuasaan pemerintah bersalin menjadi kekuasaan biro (birokrasi).

Dari sudut pandang hukum, birokrat baik dalam arti perorangan atau kantor-kedinasan sampai dengan kementerian, mendapatkan kekuasaan atau kewenangan dari peraturan perundang-undangan. Sementara perundang-undangan (baik dalam arti sempit atau luas) dibuat oleh legislatif dan juga eksekutif (pemerintah). Itu juga berarti bahwa birokrasi, sebagai institusi atau birokrat sebagai individu dapat membuat hukum dan mengatur lingkup kewenangan mereka sendiri. Lebih dari itu, birokrasi yang semula adalah sekadar pelaksana, dalam praktik, berhadapan dengan situasi konkret, dan mereka yang meminta-menuntut layanan publik, menafsir ulang dan bahkan mengembangkan kebijakan peraturan (policy rules) atau sekadar kebijakan (policy) atas dasar diskresi (discretionary power) yang sejalan atau berbeda dari apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

Tapi juga perlu disadari bahwa pemerintah pusat terbagi ke dalam badan-badan negara, kementerian, direktorat, kedinasan, unit kerja. Hal serupa terjadi di tingkat pemerintah daerah sampai dengan desa. Singkat kata, kita tidak pernah dapat berbicara tentang adanya satu pemerintah (tunggal-utuh) dengan satu birokrasi yang sama utuhnya. Mengikuti pembagian-pemecahan pemerintah ke dalam kementerian, badan, lembaga dstnya, terjadi pula multiplikasi dan fragmentasi birokrasi secara eksponensial. Sekaligus, sekian banyak biro yang menafsir dan mengembangkan lingkup kerja dan kewenangan mereka yang dapat saja bersinggungan, bersentuhan atau bahkan bisa jadi berbenturan dengan kewenangan biro dalam satu lembaga atau lintas lembaga. Bersamaan dengan fragmentasi pemerintah ke dalam banyak biro dengan lingkup kewenangan seperti di atas, bermunculan pula regulasi yang sama banyaknya dengan kecenderungan serupa. 

Maka fragmentasi pemerintah (dan kekuasaan-kewenangan pemerintah) ke dalam bentuk kementerian, direktorat jenderal sampai dengan unit pelaksana di tingkat paling rendah berjalan seiring berkembangnya kekuasaan biro yang meluas dan sistematis. Terjadi tidak saja pembagian, tetapi pemencaran kekuasaan dan kewenangan membuat regulasi. Ini semua sekaligus berakibat pada multiplikasi regulasi yang tidak niscaya utuh atau selaras satu sama lain. Juga dapat ditambahkan bahwa kementerian dari waktu ke waktu ditata-ulang, dirombak, bahkan dihapuskan (sekalipun akan muncul kembali dalam wujud lain). Maka dapat dibayangkan bahwa regulasi yang dikembangkan birokrasi berkembang, tumbuh bahkan mati, bersamaan dengan perombakan cabinet atau struktur organisasi tata pemerintahan. Singkat kata, over-regulation disebabkan multiplikasi biro-biro pemerintahan (biro yang berkuasa).

Hal lain yang juga sering dikeluhkan adalah ego-sectoralism-siloism. Masing-masing biro hidup, bekerja dan mengembangkan kebijakan dan regulasi terfokus pada pandangan tentang tugas pokok dan fungsi. Untuk ini ditawarkan solusi koordinasi-integrasi-sinkronisasi-simplifikasi. Wujud konkret yang dapat dicermati adalah pembentukan birokrasi berbeda: menteri koordinator sampai dengan layanan satu pintu-satu atap dan kebijakan deregulasi dengan/tanpa debirokratisasi.

Sumber hukum tidak pernah hanya peraturan perundang-undangan

Apa akibat dari pemencaran kewenangan pemerintah ke dalam sekian banyak biro-biro pada pemahaman kita akan sumber hukum? Dalam konteks ini apa artinya metode yuridis normatif atau dogmatis atau doktriner? Dari uraian di atas jelas bahwa dalam menemukan hukum apa yang berlaku dalam situasi konkret tertentu, merujuk pada sumber hukum formal (tertulis buatan negara atau peraturan perundang-undangan) tidak memadai.

Bahkan juga apa yang disebut statutory approach tidak lagi sepenuhnya relevan karena apa yang seharusnya menjadi hukum tidak lagi dapat begitu saja ditemukan dalam peraturan perundang-undangan (hukum negara tertulis; statutory). Apa yang lebih penting adalah mencari dan menemukan apa yang menjadi kebijakan, kebijakan tertulis atau aturan yang dibuat oleh birokrasi yang kebetulan berkuasa atas layanan publik yang kita perlukan.

Maka apa yang kita hadapi adalah birokrasi yang dalam dirinya sendiri menolak pemahaman statis tentang hukum. Peraturan perundang-undangan tidak otomatis berlaku dan akan diimplementasikan apa adanya. Hukum negara (tertulis), dalam pandangan birokrasi, wajib diterjemahkan ke dalam arahan kebijakan, petunjuk-pedoman yang lebih konkret atau diubah-disimpangi atas dasar kewenangan diskresi. Kebijakan-peraturan kebijakan dan regulasi itulah yang ke hadapan warga negara, mereka yang membutuhkan layanan publik atau pencari keadilan muncul sebagai aturan (tidak tertulis) yang memaksa.

Persoalannya dengan kebijakan (policy tidak identic dengan kebijaksanaan/wisdom) sebagai sumber utama dari semua regulasi di atas adalah sifatnya yang personal-temporer. Kebijakan inilah yang dari waktu ke waktu terus berubah mengikuti perkembangan pengetahuan, dan wawasan dari pimpinan atau siapapun yang memegang kendali di biro (unit kerja) tertentu. Di sini juga harus dipertimbangkan fakta bahwa kebijakan juga merupakan reaksi terhadap perilaku mereka yang membutuhkan layanan publik, untuk mencari jalan pintas, menghalalkan segala cara, termasuk memanipulasi data-informasi yang menjadi prasyarat bagi pemberian layanan itu. Mungkin itu sebabnya juga birokrasi tidak percaya pada dokumen yang mereka terbitkan sendiri. Misalnya untuk membuktikan identitas sebagai warga negara kita tidak saja harus melampirkan paspor, tetapi juga KTP, Kartu Keluarga dan bahkan akta lahir.

Singkat kata, kebijakan sekalipun menjadi sumber hukum utama, tidak niscaya menjanjikan keajegan apalagi kepastian hukum. Ketidakpastian hukum ini lagipula dianggap terberi dan lumrah. Sekalipun dikeluhkan- setidaknya oleh akademisi hukum - mereka yang berada di dua sisi meja (biro atau loket) berbeda, birokrat maupun warga-negara, bahkan investor, tampaknya beradaptasi dengan baik. Keduanya mampu mengembangkan strategi yang berbeda untuk menjalankan tugas sebagaimana instruksi maupun untuk tetap mendapatkan layanan publik yang dibutuhkan. 

Dalam konteks ini muncul street level bureaucracy, birokrat yang menawarkan jasa tambahan bagi warganegara untuk bernavigasi di antara kerumitan regulasi dan meja. Atau para birokrat direkrut oleh perusahaan untuk menjadi pegawai lepas-harian yang dari dalam biro mengurus kepentingan. Gejala lain adalah pengacara-konsultan hukum tidak lagi sekadar memberikan layanan jasa hukum, tetapi lebih dari itu menjadi broker dan fixer, perantara antara pengusaha-pencari layanan publik dengan birokrasi yang mengembangkan tembok kebijakan dan regulasi yang sangat dinamis itu.

Singkat kata, ketidakpastian hukum, setidaknya di Indonesia, tidak serta merta mengakibatkan keruntuhan dunia seperti yang dibayangkan dalam adagium Justitia et Pereat Mundus. Sekalipun kemudian untuk mendapatkan keadilan, rakyat tidak dapat mengandalkan hukum, namun harus memperjuangkannya dengan cara-cara yang justru extra dan kadang contra legem.

Penutup

Ketidakpastian hukum, tampaknya dalam kenyataan, tidak perlu dipermasalahkan. Kedua atau tiga pihak, birokrat, warga negara pencari layanan publik dan pengusaha (investor) yang kemudahan usaha tergantung pada kebaikan hati birokrasi, kemudian, seperti dalam teori evolusi, terus mengembangkan strategi adaptasi berbeda untuk bertahan hidup.

Maka mungkin saja, dari sudut pandang ini, masalah yang dihadapi Indonesia berkenaan dengan ketidakpastian hukum bukan berakar dari banyaknya aturan atau jumlah biro yang dikembangkan untuk menjalankan aturan. Dalam konteks ini pun, kita dapat tempatkan keberhasilan-kegagalan kebijakan deregulasi-debirokratisasi yang dicanangkan pemerintah dari waktu ke waktu, terakhir melalui pendekatan omnibus yang diakui dikembangkan demi ease of doing business dan kepastian hukum bagi pemerintah dalam memberikan layanan publik bagi investor.

*)Tristam Pascal Moeliono, pengajar mata kuliah filsafat hukum, perbandingan hukum dan sosiologi hukum di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, anggota KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik) dan AFHI (Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia).

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait