Urgensi Percepat Pembahasan dan Pengesahan RUU PPRT
Terbaru

Urgensi Percepat Pembahasan dan Pengesahan RUU PPRT

Dikarenakan UU 6/2023 materi muatannya serupa dengan UU 11/2020 yang membat pekerja pekerja/buruh perempuan semakin rentan mengalami eksploitasi, diskriminasi, dan kekerasan.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Selain itu UU 6/2023 mendorong praktik outsourcing (alih daya) semakin liar dan tidak terkontrol, serta memutihkan ‘dosa’ dengan hilangnya peraturan untuk beralih menjadi hubungan kerjapada perusahaan user jika melanggar. Penambahan alasan Pemutusan Kerja (PHK) dan pengurangan kompensasi PHK menjadi alasan yang memudahkan Perusahaan melakukan PHK kepada Buruh. Sehingga kepastian kerja dan hak terhadap buruh menjadi minim.

Kedua, UU 6/2023 melegalkan praktik fleksibilitas waktu kerja. Yakni pengusaha dapat memperpanjang waktu kerja buruh dan mengurangi hak istirahat buruh, hal ini dapat terlihat dalam batasan maksimal waktu lembur semula maksimal 3 jam sehari dan 14 jam seminggu menjadi 4 jam sehari dan 18 jam seminggu. Selain itu, tidak ada jangka waktu serta mekanisme perpanjangan kontrak kerja, sehingga aturan ini berpotensi dijadikan alasan bagi pengusaha untuk menjadikan buruh sebagai pekerja berstatus kontrak seumur hidup.

Ketiga, UU 6/2023 melegalkan praktik fleksibilitas upah, aturan ini dapat terlihat dalam aturan tentang penentuan besaran upah yang dimonopoli oleh pemerintah dengan menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) tanpa melibatkan serikat buruh dalam penentuan upah. Selain ketiga hal itu Isnur melihat jaminan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat terhadap buruh semakin dikebiri melalui Pasal 273 UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat aturan tentang ancaman pidana demonstrasi.

“Aturan ini akan melemahkan posisi tawar serikat buruh yang menjadikan demonstrasi sebagai metode perjuangan buruh,” urainya.

Isnur menilai, UU 6/2023 merupakan bentuk nyata pemerintah dan DPR mengutamakan kepentingan oligarki ketimbang buruh. Keberpihakan itu juga terlihat dari lambatnya proses legislasi RUU PPRT. Berbagai kebijakan itu bertentangan dengan TAP MPR No.16 Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi yang mewajibkan negara menempatkan buruh sebagai subjek utama dalam membangun demokrasi ekonomi.

Tags:

Berita Terkait