Urgensi Percepat Pembahasan dan Pengesahan RUU PPRT
Terbaru

Urgensi Percepat Pembahasan dan Pengesahan RUU PPRT

Dikarenakan UU 6/2023 materi muatannya serupa dengan UU 11/2020 yang membat pekerja pekerja/buruh perempuan semakin rentan mengalami eksploitasi, diskriminasi, dan kekerasan.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Andy melihat sampai saat ini belum ada payung hukum yang dapat menjangkau sektor PRT yang mayoritasnya adalah perempuan. UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memuat sektor informal. Begitupula UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan di Dalam Rumah Tangga hanya mencakup sebagian pengalaman PRT ketika mereka tinggal satu atap dengan majikannya. Apalagi UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU pun tak dapat diandalkan memberikan perlindungan terhadap pekerja/buruh.

“Kita tidak dapat mengandalkan Perppu Cipta Kerja (UU 6/2023,-red) untuk memberikan pelindungan bagi perempuan pekerja di sektor formal dan apalagi di sektor informal seperti pekerja rumah tangga,” imbuh Andy.

Andy menjelaskan, kajian Komnas Perempuan menunjukkan muatan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diadopsi dari Perppu 2/2022 yang kemudian menjadi UU 6/2023 dilakukan tanpa perbaikan. Akibatnya, perempuan pekerja justru semakin rentan mengalami eksploitasi, diskriminasi dan kekerasan. Sementara proses pengesahan UU 6/2023 menurut Andy sangat terburu-buru dan partisipasinya hanya prosedural.

Sebagaimana diketahui, pada 30 Desember 2022 DPR dan Pemerintah telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Pengesahan ini mendapatkan kritik karena terkesan terburu-buru dan terkurung pada partisipasi prosedural. Akibatnya berdampak pada perlindungan hak-hak konstitusional pekerja khususnya pekerja/buruh perempuan.

Andy mengingatkan pentingnya pelaksanaan putusan MK No.75/PUU-XX/2022 tentang Permohonan Uji Materiil terhadap UU 13/2003. Hakim MK menyatakan “tugas dan tanggung jawab negara terhadap para pekerja rumahan dapat dilakukan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Hal tersebut seyogyanya segera dilakukan sebagai upaya dari negara yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memberikan pelindungan dan kesejahteraan kepada para pekerja rumahan sebagai bagian dari kebijakan strategis dalam upaya memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat”. Sama seperti PRT, kaum perempuan banyak bekerja sebagai pekerja rumahan.

Pernyataan MK itu menurut Andy mempertegas pentingnya kebijakan khusus bagi perempuan pekerja. Terutama di sektor rumahan agar diwujudkan pemerintah pusat melalui kementerian terkait dan pemerintah daerah guna memenuhi amanat konstitusi dalam pemenuhan hak warga negara, dan hak pekerja, serta hak bebas dari diskriminasi dan kekerasan.

Sebelumnya, Terpisah, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnud menyorot UU 6/2023 memuat sejumlah pasal yang memangkas jaminan hak-hak buruh dalam berbagai aspek. Fleksibilitas pasar kerja (labour market flexibility) menjadi nafas pembentukan substansi UU ini setidaknya dalam 3 hal. Pertama, UU Cipta Kerja semakin melegalkan praktik fleksibilitas hubungan kerja. Konsep ini semakin tak melindungi buruh dengan kontrak kerja atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang bertambah masa toleransi dari 3 tahun menjadi 5 tahun.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait