UU Cipta Kerja Dinilai Hambat Kemajuan Kebijakan Penyandang Disabilitas
Berita

UU Cipta Kerja Dinilai Hambat Kemajuan Kebijakan Penyandang Disabilitas

Karena menghapus sejumlah ketentuan dalam berbagai UU yang mendorong pelindungan dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. UU Cipta Kerja masih menggunakan istilah “cacat,” bukan “penyandang disabilitas” sebagaimana mandat pasal 148 UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Inisiatif kelompok penyandang disabilitas dengan menyampaikan usulan untuk RUU Cipta Kerja juga tidak mendapat respon yang baik. Publikasi pembahasan RUU Cipta Kerja melalui TV Parlemen dan media sosial juga tidak dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Misalnya publikasi TV Parlemen tidak menyediakan penerjemah bahasa isyarat.

“UU Cipta Kerja mematahkan dan membuat mundur semua kebijakan positif yang telah dicapai untuk penyandang disabilitas,” kata Fajri Nursyamsi dalam diskusi daring yang diselenggarakan PSHK bertema “UU Cipta Kerja dalam Kerangka Kebijakan Disabilitas”, Jumat (4/12/2020). (Baca Juga: Pemerintah Terus Sosialisasikan UU Cipta Kerja dan Aturan Pelaksananya di Daerah)

Kedua, UU Cipta Kerja masih menggunakan istilah “cacat”. Misalnya, dalam perubahan Pasal 153 dan penambahan Pasal 154a UU Ketenagakerjaan melalui UU Cipta Kerja. Fajri mengatakan Pasal 148 UU No.8 Tahun 2016 mengatur istilah penyandang cacat yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum UU ini berlaku harus dibaca dan dimaknai sebagai penyandang disabilitas sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini.

“UU Cipta Kerja masih menggunakan istilah ‘cacat’, ini (bukti, red) karena penyandang disabilitas tidak pernah diperhatikan dan tidak dilibatkan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja,” ujarnya.

Ketiga, pemenuhan aksesibilitas penyandang disabilitas. Fajri menegaskan Pasal 27 ayat (2) UU No.28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mengatur kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman termasuk bagi penyandang disabilitas, dan lanjut usia.  

Ketentuan ini selaras dengan mandat Pasal 98 UU Penyandang Disabilitas yang menjelaskan bangunan gedung yang mudah diakses penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan fasilitas dan aksesibilitas dengan mempertimbangkan kebutuhan, fungsi, luas, dan ketinggian bangunan gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian diatur lebih detail dalam PP No.42 Tahun 2020 tentang Aksesibilitas terhadap Permukiman, Pelayanan Publik, dan Pelindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas. “Tapi sayangnya UU Cipta Kerja menghapus Pasal 27 ayat (2) UU No.28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, ini sangat fatal,” tegas Fajri.

Tags:

Berita Terkait