Wewenang Ketua Pengadilan dalam Eksekusi Putusan Perdata Harus Terukur
RUU Hukum Acara Perdata

Wewenang Ketua Pengadilan dalam Eksekusi Putusan Perdata Harus Terukur

Sempat ada wacana bakal mengeluarkan kewenangan ketua pengadilan dalam eksekusi putusan perdata dan diserahkan ke lembaga baru. Namun terjadi perdebatan sengit dan terjadi penolakan dari kalangan pengadilan. Alhasil, rencana tersebut dibatalkan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Argumentasi dari kalangan yang menolak kala itu, eksekusi sebagai serangkaian proses akhir dalam proses peradilan dan eksekusi dimaknai sebagai “mahkota pengadilan”. Lagi pula, belum jelas apa dan bagaimana lembaga baru yang bakal dibentuk untuk menjalankan kewenangan eksekusi putusan pengadilan. “Akhirnya wacana tersebut tidak dilanjutkan dan tidak dinormakan ke dalam RUU,” lanjutnya.

Prof Basuki menerangkan RUU Hukum Acara Perdata mengatur kewenangan KPN tentang pelaksanaan eksekusi, antara lain memberi perintah dan memimpin eksekusi sebagaimana diatur Pasal 204. Kemudian menolak dan menunda eksekusi perkara perdata dalam Pasal 205. Selanjutnya, mendelegasikan kewenangan eksekusi dalam Pasal 206. Begitu pula kewenangan memanggil pihak yang kalah untuk ditegur agar sukarela melaksanakan putusan diatur dalam Pasal 207.

Lalu, membuat penetapan perintah penyitaan barang milik pihak yang kalah tertuang dalam Pasal 208 ayat (1) dan (2). Membuat penetapan lelang barang bergerak dalam Pasal 209; menetapkan cara pembagian uang hasil lelang diantara para kreditur tertuang dalam Pasal 217 ayat (2). Begitu pula kewenangan menetapkan penggantian nilai uang atas putusan yang menghukum melakukan suatu perbuatan, namun tidak dilakukan pihak yang kalah dituangkan dalam Pasal 220 ayat (1) dan (2). Termasuk membuat perintah penyanderaan terhadap debitor yang ingkar membayar hutangnya, padahal mampu dan sengaja tidak membayar utangnya kepada kreditor diatur dalam Pasal 223 dan 224 RUU Hukum Acara Perdata.

“Jadi sebetulnya masih sama seperti yang dulu diatur dalam HIR dan RBG,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Sonyendah Retnaningsih menilai terdapat beberapa pasal penegasan, penambahan, ataupun menguatkan pengaturan pelaksanaan eksekusi seperti diatur dalam HIR dan RBG. Misalnya, Pasal 205 mengatur dalam hal ketua pengadilan menolak atau menunda pelaksanaan putusan yang diajukan pemohon, maka harus dibuat penetapan dengan menyebutkan alasan penolakan atau penundaan pelaksanaan eksekusi putusan.

“Ini memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang menang ketika ketua pengadilan menolak atau menunda. Jadi harus ada alasannya,” kata dia.

Namun, dia mengkritisi rumusan norma Pasal 206 ayat (1) yang menyebutkan, “Dalam hal pelaksanaan putusan sebagian atau seluruhnya harus dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang lain, maka ketua pengadilan meminta dengan surat kepada ketua pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat putusan tersebut harus dilaksanakan untuk melaksanakannya”. Hal ini berarti ada pendelegasian kewenangan ketua pengadilan yang memutus perkara dan ketua pengadilan yang mengeksekusi putusan.

“Menariknya, terdapat frasa ‘sebagian atau seluruhnya’. Setahu saya, seluruh amar putusan harus dilaksanakan. Kalau sebagian berarti hanya sebagian yang dilaksanakan, ini harus diperjelas kata ‘sebagian’ ini,” kata dia.

Tags:

Berita Terkait