YLBHI/LBH Beberkan Tantangan Advokasi Kasus Kekerasan Seksual
Terbaru

YLBHI/LBH Beberkan Tantangan Advokasi Kasus Kekerasan Seksual

Aparat kurang memperhatikan hak-hak korban kekerasan seksual.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pemerintah dan DPR telah menerbitkan UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Beleid itu diharapkan dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap masyarakat dari ancaman tindak pidana kekerasan seksual. Tahun 2020, YLBHI dan LBH menangani 145 kasus kekerasan seksual dengan jumlah korban 239 orang. Salah satu persoalan utama dalam kasus kekerasan seksual adalah tidak semua korban mau melapor.

Pengacara Publik YLBHI, Meila Nurul Fajriah, mengatakan hal tersebut bukan tanpa sebab karena faktanya selama ini korban kekerasan seksual kerap menghadapi berbagai kendala. Mulai dari laporan yang ditolak kepolisian, proses berlarut, bahkan dihentikan. “Sehingga korban tidak mendapat pemulihan malah menjadi korban 2 kali (victim blaming),” kata Meila dalam diskusi bertema “Tantangan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Kepolisian”, Senin (13/6/2022).

Baca Juga:

Meila melanjutkan dari 239 kasus yang masuk di 17 LBH Kantor pada tahun 2020, hanya 51% yang mau membawa kasusnya ke kepolisian yaitu 123 orang. Dari jumlah yang dilaporkan ini, hanya 52,60% yang naik ke penyidikan, 24,03% yang naik ke pelimpahan ke kejaksaan dan 23% yang sampai pada tahap putusan.

"Jadi, masih banyak kasus kekerasan seksual yang berhenti di kepolisian, seperti kasus kekerasan seksual yang menimpa anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan."

Pengacara Publik LBH Makassar, Rezky Pratiwi, mengatakan banyak kasus kekerasan seksual yang menghadapi hambatan di kepolisian. Sebabnya antara lain, lemahnya kapasitas aparat secara personil dan kelembagaan. Secara personil ada persoalan dalam menangani kasus misalnya tidak memperhatikan hak-hak korban, bagaimana cara memproses laporan secara baik, dan dalam menemukan bukti agar kasus bisa berlanjut ke tahap selanjutnya.

Secara kelembagaan, kepolisian dinilai belum siap menangani kasus kekerasan seksual. Misalnya, dalam menangani kasus kekerasan seksual belum memiliki perspektif korban dan kelompok rentan. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, aparat memfasilitasi pelapor untuk mencabut laporannya kepada tersangka. Sehingga dengan alasan tersebut aparat membebaskan tersangka dari tahanan.

“Ada 2 kasus di Polrestabes Makassar yang difasilitasi pencabutan pelaporannya,” ujar Rezky.

Rezky mengingatkan kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak boleh menggunakan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice). Kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak memenuhi syarat untuk dilakukan keadilan restoratif dan bukan delik aduan. Jika kasusnya delik aduan maka proses bisa dihentikan berdasarkan permintaan pelapor.

Soal kasus kekerasan anak di Luwu Timur, Rezky mengatakan prosesnya tidak memperhatikan hak-hak korban. Korban diperiksa tanpa pendamping, dan malah dipertemukan dengan terlapor. Serta membebankan pembuktian kepada korban. Aparat kepolisian baru merespon kasus tersebut ketika beritanya viral di medsos. Ironisnya, aparat kepolisian menghentikan kasus ini sejak akhir Mei 2022.

Menurut Rezky, penghentian kasus Luwu Timur itu sangat terburu-buru karena tahapnya masih penyelidikan. Aparat kepolisian seharusnya bisa melakukan pemeriksaan lebih dalam lagi. Pada tahap penyelidikan tingkat diskresi yang bisa dilakukan polisi sangat besar sehingga subyektivitasnya tinggi.

Pengacara publik LBH Manado, Citra Tangkudung, mengatakan dalam kasus kekerasan seksual tidak semua korban mau melapor ke polisi. Korban cenderung ragu untuk lapor karena aparat biasanya meminta bukti. Faktor lain yaitu korban belum paham bagaimana prosedur penanganan kasus kekerasan seksual. “Banyak korban kekerasan seksual ragu untuk melapor karena minim bukti,” katanya.

Tags:

Berita Terkait