Pasca terjadinya bencana alam, yang paling terdampak adalah masyarakat yang sekaligus berposisi sebagai konsumen. Di dalam regulasi telah diatur secara mendasar bahwa setiap tahapan dari setiap aksi berupaya untuk menolong menyelamatkan korban yang seharusnya berjalan dengan baik.
Di sisi perlindungan konsumen ketika berbicara mengenai penyelamatan dan pertolongan, korban bencana alam tidak boleh dijadikan sebagai objek sehingga akan berujung pada sosok yang hopeless.
“Si korban jangan hanya dijadikan sebuah objek sehingga seolah-olah ia diselamatkan karena dia hopeless. Dari sisi manajemen bencana, ada yang namanya tahapan ketika bencana belum terjadi. Sehingga, masyarakat bisa dikondisikan sedemikian rupa dan ketika terjadi bencana mereka tidak langsung menjadi sosok yang hopeless karena ia bisa menjadi penolong untuk dirinya sendiri dan untuk masyarakat sekitarnya,” jelas Tubagus Haryo Karbyanto selaku Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada Jumat (25/11).
Baca Juga:
- Ancaman Pidana Pelaku Penjarahan Bantuan Korban Gempa
- Wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Penanggulangan Bencana
- Gempa Bumi Merupakan Peristiwa Hukum? Begini Penjelasannya
Menurutnya, manajemen bencana adalah sebuah upaya yang bisa dilakukan konsumen atau korban tanpa harus menunggu turun tangan pemerintah atau bergantung kepada pemerintah pada saat bencana alam terjadi.
“Ada yang namanya sebelum, saat, dan pasca bencana. Nah ketika masyarakat tidak tahu apa yang harus dilakukan pada tahapan itu, maka masyarakat akan bingung. Berarti disini yang salah adalah manajemen pra bencananya tidak baik,” tambahnya.
Menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut, dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi bencana.