UU Kepailitan Baru Dinilai Sarat akan Inkonsistensi
Berita

UU Kepailitan Baru Dinilai Sarat akan Inkonsistensi

UU Kepailitan yang baru penuh dengan inkonsistensi sehingga dapat menyebabkan ketidakpastian hukum kepailitan di Indonesia.

Amr
Bacaan 2 Menit
UU Kepailitan Baru Dinilai Sarat akan Inkonsistensi
Hukumonline

 

Inkonsistensi

Namun, di pihak lain, dari perspektif Swandy, UU No.37/2004 dipandang sarat akan kelemahan. Dia berpendapat pasal-pasal dalam UU Kepailitan yang baru penuh dengan inkonsistensi sehingga dapat menyebabkan ketidakpastian hukum kepailitan di Indonesia. Pada kesempatan itu, dia memaparkan setidaknya ada delapan inkonsistensi dalam UU No.37/2004.

 

Swandy menjelaskan satu persatu inkonsistensi tersebut di depan puluhan anggota IPBA yang hadir dalam diskusi tersebut. Inkonsistensi yang dimaksud diantaranya, dikecualikannya perusahaan publik yang tercatat di pasar modal dari pihak-pihak yang permohonan kepailitannya hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam).

 

Inkonsistensi lainnya, masih menurut Swandy, terletak pada ketentuan yang menyatakan bahwa badan usaha milik negara (BUMN) dapat dipailitkan seperti diatur dalam pasal 2 ayat (1) jo. pasal 2 ayat (5) UU No.37/2004. Padahal, menurutnya, BUMN tidak dapat dipailitkan karena merupakan bagian dari aset negara. Swandy merujuk pada pasal 4 UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi dan pasal 50 UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

 

Ditambahkannya, kelemahan yang paling serius adalah dihapuskannya prosedur insolvency test baik dari UU No.4/1998 maupun UU No.37/2004. Padahal, jelasnya, ketiadaan prosedur insolvency test inilah yang membuat banyak perusahaan yang sebetulnya sehat namun diputuskan pailit di bawah rezim UU No.4/1998. Jangan kaget jika putusan serupa akan terulang lagi di masa yang akan datang, timpalnya.

Gonjang-ganjing perkara kepailitan di Indonesia yang sempat menimpa sejumlah perusahaan besar seperti yang dialami Prudential dan Asia Pulp and Paper (APP) rupanya dipandang menarik oleh para pengacara di Asia Pasifik. Buktinya, mereka begitu antusias saat mengikuti diskusi yang bertajuk The Future of Indonesian Insolvency - The System After APP & Prudential yang menjadi salah satu mata acara dalam rapat tahunan Inter-Pasific Bar Association (IPBA) 2005 yang berlangsung pekan lalu di Bali.

 

Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut antara lain beberapa pengacara yang pernah terlibat langsung dalam sejumlah perkara kepailitan di Indonesia termasuk perkara terhadap Prudential yakni Ricardo Simanjuntak dan Swandy Halim. Selain itu, pembicara lainnya juga datang dari hakim agung Mahkamah Agung Abbas Said, pengacara Singapura Sean Tan Kim, dan Presiden Direktur PT Prudential Life Assurance Charlie E. Oporeza.

 

Kecuali wakil dari Prudential, para pembicara yang lain tidak banyak mengulas perkara Prudential atau APP. Sebaliknya, diskusi lebih banyak mengulas soal hukum kepailitan Indonesia pasca diundangkannya UU Kepailitan yang baru yaitu UU No.37/2004 yang menggantikan UU No.4/1998.

 

Hampir semua pembicara berpendapat bahwa substansi UU No.37/2004 jauh lebih baik dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya. Ricardo, misalnya, menyatakan bahwa definisi tentang utang dalam UU No.37/2004 jauh lebih baik dan lebih jelas ketimbang yang diatur sebelumnya dalam UU No.4/1998. Pandangan yang optimistis terhadap UU Kepailitan yang baru juga dipaparkan oleh hakim agung Abbas Said.

 

Sementara, dari sisi dunia usaha, Oporeza menilai bahwa UU No.37/2004 diyakini dapat memperbaharui kepercayaan diri para pengusaha untuk berinvestasi di Indonesia. Oporeza juga menyebutkan bahwa UU Kepailitan yang baru memberikan jaminan yang lebih besar dari kemungkinan penyalahgunaan dan penyelewengan terhadap hukum kepailitan.

Tags: