P. Agus Pambudhi: Partisipasi Publik dalam Penyusunan PERDA Sangat Rendah
Terbaru

P. Agus Pambudhi: Partisipasi Publik dalam Penyusunan PERDA Sangat Rendah

Dari 2000 Perda yang diteliti KPPOD, 28 persen dinyatakan bermasalah. Perda bermasalah ini bahkan menurut Presiden menghambat investasi. Menyikapi ini, Menkumham menyatakan kanwil depkumham akan proaktif melakukan supervisi dan evaluasi Perda.

Aru/M-3
Bacaan 2 Menit
P. Agus Pambudhi: Partisipasi Publik dalam Penyusunan PERDA Sangat Rendah
Hukumonline

 

Tulisan diatas menunjukkan betapa Perda memiliki banyak dimensi. Bukan hanya dari dimensi perundang-undangan, tapi juga perekonomian. Dalam hal ini investasi. Untuk mengetahui seluk beluk Perda dalam dimensi perekonomian, berikut adalah petikan wawancara hukumonline dengan P. Agung Pambudhi Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) yang juga Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Kamar Dagang Indonesia (Kadin). KPPOD adalah lembaga yang fokus dengan Perda yang berhubungan dengan investasi dan aktifitas usaha

 

Menurut Anda apa itu Perda?

Sejak otda, daerah mempunyai kewenangan lebih dalam mengatur rumahtangganya. Maksudnya, dari dan oleh Pemerintah Daerah (pemda). Dalam tataran hukum diakomodir dalam tata urutan perundangan kita yang menempatkan Perda setelah Peraturan Presiden (Perpres). Artinya ada posisi hukum atau hak Pemda untuk membuat peraturannya sendiri. Itu menurut saya.

 

Ada berapa kategori Perda?

Banyak ya. Untuk mengkategorikan secara persisnya saya sendiri tidak tahu. Tapi kalau dikategorikan yang terkait dalam aktifitas usaha, saya kategorikan menjadi dua. Yakni Perda yang terkait secara langsung dan tidak. Yang terkait secara langsung misalnya, Perda tentang pajak dan retribusi daerah, kemudian Perda yang terkait dengan pembentukan perusahaan daerah. Kemudian Perda yang terkait dengan penggunaan kekayaan daerah. Yang tidak langsung adalah Perda yang terkait dengan organisasi pemerintahan. Tidak langsung karena untuk pelayanan kegiatan usaha kan direct related dengan bentuk organisasi pelayanannya. Misalnya, soal pelayanan usaha perizinan. Kalau mau dirinci lagi, sebenarnya lebih banyak lagi.

 

Saat ini muncul istilah Perda bermasalah, apa sih yang dimaksud Perda bermasalah?

Kalau bermasalah itu banyak dimensinya tapi saya akan bicara lebih pada aspek perekonomian. Istilah bermasalah ini kami luncurkan lima tahun yang lalu. Apa yang dimaksud dengan bermasalah itu prinsipnya adalah Perda-perda yang karena keberadaannya akan menyebabkan terhambatnya aktifitas perekonomian. Perda seperti ini kami kategorikan menjadi tiga. Bermasalah secara prinsipiil, substansi dan secara teknis. Bermasalah secara teknis soal kesesuaian Perda dengan ketentuan yuridis formal. Misalnya penyusunan yang tidak sesuai dengan legal drafting. Kategori ini relatif tidak bermasalah menurut saya. Bermasalah secara prinsipiil, adalah Perda yang memberikan hambatan perdagangan dalam negeri. Maksudnya, ketika satu barang didistribusikan dari Kabupaten (kab) A ke Kab B terus ke Kab C dan sebaliknya itu dikenakan pungutan. Baik berupa pajak, retribusi dan lainnya. Itu melanggar prinsip free internal trade. Itu menggambarkan terjadinya disintegrasi dalam pengertian ekonomi. Terus bermasalah secara substansi, apa yang diatur dalam Perda misalnya soal lingkungan hidup tapi isinya tidak lebih dari sekedar pungutan dan tidak ada satu pasal pun yang menjelaskan soal lingkungan hidup.

 

Apa yang menyebabkan itu?

Banyak aspek, saya melihat ada lima aspek. Pertama, bias perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kita kenal UU 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang direvisi UU 33/2004. Disana kalau kita cermati, porsi terbesar dan amat besar masih pusat. Daerah sifatnya hanya marjinal. Hal itu yang mengakibatkan daerah merasa tidak cukup adil. Tapi hal ini tidak juga bisa dibenarkan. Karena kita mengenal konsep Dana Alokasi Umum (DAU), konsep yang mengisi celah fiskal antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah. Ketika kebutuhan fiskal daerah lebih besar dari kapasitas fiskal yang dimiliknya, maka tugas DAU untuk mengisi ini. Sebaliknya, semisal Jakarta yang kapasitasnya besar tapi kebutuhan tidak terlalu besar kita mengenal konsep zero DAU. Artinya tidak berhak mendapatkan DAU. Kedua, dari aspek UU, ada dua hal penting. Satu, dalam hal Perda pajak dan retribusi daerah yang menginduk pada UU 34/2000, di UU tersebut UU memberikan keleluasaan daerah untuk membuat jenis pajak sendiri. Dua, sistem pengawasannya adalah sistem pengawasan represif. Daerah tidak perlu meminta persetujuan pusat, langsung bisa membuat Perda asal disahkan eksekutif dan legislatif. Aspek Ketiga, political will dari pemerintah daerah. Disini, eksekutif seringkali merasa tidak mau repot kinerjanya diurusi oleh DPRD. Karena itu banyak sekali ada kesepakatan-kesepakatan antara eksekutif dengan DPRD untuk tidak mau repot. Karena salah satu ukuran dari keberhasilan kepala daerah oleh DPRD adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Keempat, faktor SDM dan Kelima, aspek pengawasan masyarakat.

 

Apa lagi?

Selain lima aspek itu ada aspek sosialisasi. Begini misalnya, ketika Perda bermasalah sudah dibatalkan, cara pemerintah untuk mensosialisasikan itu biasanya hanya sekedar diberikan kepada daerah yang Perdanya dibatalkan. Akibatnya ada daerah lain yang akan menerbitkan Perda sejenis yang sudah dibatalkan. Kelemahan lainnya, pemerintah tidak punya mekanisme yang memadai dan tersistem untuk memastikan Perda yang dibatalkan benar-benar dilaksnakan atau masih tetap jalan. Karena ada beberapa daerah yang Perdanya dibatalkan tapi masih dijalankan.

 

KPPOD pernah melakukan penelitian khusus soal Perda bermasalah?

Pernah, dari 2000 Perda yang kita analisis yang diterbitkan 250an kab/kota, kalau kita ambil angka statistik ada sekitar 28% kita kategorikan bermasalah secara prinspiil dan substansial.

 

Seberapa signifikan pengaruh Perda bermasalah dengan investasi?

Ada dua dimensi. Pertama, actual cost. Terkait dengan actual cost, sebagian besar Perda tidak terlalu tinggi biaya dalam pengertian absolut besaran rupiah. Kedua, opportunity cost, ini cukup besar. Pelaku usaha kan pasti ingin konsentrasi ke usahanya. Tapi karena kayak gini, biaya membengkak. Seperti saya tadi katakan, pungutan tersebut secara besaran rupiah tidak besar, tapi ibaratnya, beban pungutan dan lain-lain di Indoensia sudah sebatas dagu, maka ditambah sedikit saja sudah kelelep dan bikin mati. 

 

Apakah daerah yang mengeluarkan Perda bermasalah disebabkan miskinnya daerah?

Memang ada korelasi antara pungutan yang distorsif itu dengan besaran APBD. Tapi itu dulu, sekarang kurang tahu. 

 

Sektor mana yang paling banyak dikeluhkan pengusaha?

Paling banyak perkebunan terus diikuti sektor pertambangan, perikanan, manufaktur dan lain-lain.

 

UU No. 22 Tahun 1999 direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Apakah ada perbedaan pasca perubahan?

Ada berubahnya UU itu mengakibatkan perubahan sistem pengawasan tiga jenis Perda. Perda pajak dan retribusi daerah, Perda APBD dan Perda tata ruang wilayah itu harus dikonsultasikan dengan pemerintah pusat. Persoalannya kalau nanti timbul problem meskipun sudah dikonsultasikan, terus ada stakeholder yang mempermasalahkan, Perda itu masih dimungkinkan pemerintah untuk membatalkan Perda tersebut. Itu sistem represif. Jadi sekarang ada sistem represif dan preventif. Kalau dulu pembatalan Perda menggunakan kepmendagri, sekarang harus dengan perpres. Itu untuk Perda yang diterbitkan pasca Oktober 2004.

 

Siapa itu stakeholder?

Yang akan terkena dampak langsung penerbitan Perda, pengusaha.

 

Soal pembatalan Perda, apakah MA boleh membatalkan?

Bisa.

 

Banyak pintu dong?

Kalau di Depdagri kan lebih pada pengawasan internal pemerintahan. Artinya sistem eksekutif itu sendiri. Kalau yudisialnya tetap ada di MA.

 

Soal akses publik dalam pembuatan Perda?

Berdasarkan survey KPPOD, dari 9000 responden dari 228 kabupatan dan kota yang pengusaha semua, sekitar 85 persen pelaku usaha yang kita survey mengaku tidak dilibatkan dalam perumusan Perda. Kalau mau ditarik kesimpulan, ada kemungkinan rendahnya kualitas Perda itu salah satu penyebabnya adalah minimnya partisipasi publik dalam penyusunannya. Tapi hal tersebut tidak mutlak, karena tidak ada jaminan tingginya partisipasi akan menjamin kualitas.

 

Bagaimana pendapat Anda soal pernyataan Hamid terkait dengan supervisi Perda?

Kalau dikaji dari sistem ketatanegaraan kita, saya justru bingung dengan komentar Pak Hamid. Bingung karena kalau secara internal eksekutif kan ada depdagri, kalau secara yudikatif ada salurannya, MA. Terus apalagi peran yang akan dilakukan Depkumham? Supervisi menurut saya tetap lebih tepat kalau dilakukan oleh Depdagri.

 

Tak bisa disangsikan salah salah satu produk reformasi beberapa waktu lalu adalah lahirnya Otonomi Daerah (otda). Otda saat itu diharapkan mengurangi sistem pemerintahan yang terlalu terpusat. Maksudnya daerah diberikan hak mengatur beberapa urusan rumah tangganya. Otda selanjutnya diatur dalam Undang-Undang 22 Tahun 1999 tentang Otda.  

 

Kewenangan daerah untuk menjalankan beberapa urusannya itu biasanya diatur dalam suatu Peraturan Daerah (Perda). Siapa sangka Perda yang diterbitkan oleh pemerintahan daerah ternyata banyak yang bermasalah. Saking seriusnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seringkali memperingatkan adanya keluhan Perda bermasalah. Menurut Presiden, Perda bermasalah menghambat investasi.

 

Sebagai ilustrasi betapa bermasalahnya Perda, ada sebuah Perda yang memungut biaya pengiriman barang dari satu daerah ke daerah lain. Hal yang aneh memang disaat hambatan perdagangan antar negara dieliminasi begitu rupa dengan masuknya Indonesia dalam World Trade Organization (WTO), justru di daerah muncul hambatan seperti ini.

 

Bermasalahnya suatu Perda, khususnya dalam bidang perekonomian bisa diukur dari pendapat para pengusaha. Menurut survey KPPOD, dari 9000 responden yang kesemuanya pengusaha rata-rata menyatakan biaya perijinan yang dikeluarkan 161% lebih tinggi dari biaya resminya. Selain perijinan total biaya yang dileuarkan untuk Usaha Kecil Menengah (UKM) lebih besar 7,5%. Usaha besar kurang dari 0,5% dari total biaya produksi.

 

Fakta banyaknya Perda bermasalah dan implikasinya membuat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Hamid Awaluddin bereaksi. Dalam suatu kesempatan Hamid menyatakan Depkumham lewat Kantor Wilayahnya (kanwil) akan proaktif melakukan supervisi dan evaluasi Perda.

Tags: