Pemerintah Diingatkan tentang Pasal 56 KUHAP
RPP Bantuan Hukum:

Pemerintah Diingatkan tentang Pasal 56 KUHAP

Penerima dana bantuan hukum hanya orang miskin

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Pos Bantuan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Foto: Sgp
Pos Bantuan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Foto: Sgp

Dalam proses pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, kategori penerima bantuan hukum termasuk isu krusial yang sering menimbulkan perdebatan.

Norma hukumnya merujuk pada kualifikasi "Penerima Bantuan Hukum" menurut Undang-Undang No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang disebut Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.

Dalam proses pembahasan RPP, kualifikasi miskin diperjelas adalah miskin secara ekonomi. Secara teknis, Penerima Bantuan Hukum perlu menunjukkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dan identitas diri. Kalau tidak punya Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau identitas resmi lain, warga miskin dapat mengajukan alamat sementara secara tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kualifikasi Penerima Bantuan Hukum harus ‘miskin’ bisa memunculkan masalah di kemudian hari. Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Umum Ditjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (MA), Wahyudin, mengingatkan para penyusun RPP untuk tidak melupakan Pasal 56 KUHAP. Pasal ini memungkinkan seseorang yang terancam pidana mati atau 15 tahun lebih mendapatkan bantuan hukum cuma-cuma. Pasal ini tidak membedakan kualifikasi miskin atau kaya seorang terdakwa.

Selain itu, Wahyudin mengingatkan pula Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan yang merupakan kebijakan pemerintah sendiri. Dalam dokumen Strategi Nasional itu, pemberian bantuan hukum bukan hanya ditujukan kepada masyarakat miskin, tetapi juga mereka yang terpinggirkan, perempuan, dan anak-anak. “Saya yakin dalam proses pembahasan sudah didiskusikan secara panjang,” ujar Wahyudin.

Tantangan bagi tim penyusun RPP bukan hanya kualifikasi Penerima Bantuan Hukum. Ketika UU No 16 Tahun 2011 memusatkan (sentralisasi) pemberian bantuan hukum, nasib pos-pos bantuan hukum (posbakum) yang sudah ada di pengadilan menjadi tak jelas. Peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman mengharuskan pembentukan posbakum di semua pengadilan untuk semua tingkatan. Sebagai tindak lanjut amanat itu, Mahkamah Agung antara lain menerbitkan Surat Edaran No 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. Meskipun program pembentukan posbakum di seluruh pengadilan belum berjalan sepenuhnya, nasib posbakum juga perlu dipikirkan karena sejauh ini RPP belum menyinggungnya. “Ini tantangan bagi tim penyusun RPP. Jangan sampai masyarakat bingung,” imbuh Wahyudin.

Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Wicipto Setiadi menyambut baik masukan MA. Dalam proses pembahasan RPP, pemerintah mengikutsertakan dan berbicara dengan para pemangku kepentingan. “Kami coba menampung terus (masukan) sepanjang itu bisa diakomodir,” ujarnya.

Seraya menampung masukan masyarakat dan pemangku kepentingan, Wicipto berharap draf RPP sudah selesai disusun pada Juli, atau paling lambat Agustus mendatang. RPP dimaksud adalah amanat UU No 16 Tahun 2011.

Tags:

Berita Terkait