Pelaku ESKA Bisa Diekstradisi
Berita

Pelaku ESKA Bisa Diekstradisi

Ratifikasi Protokol Opsional KHA saja belum cukup.

Mys
Bacaan 2 Menit
Pelaku ESKA bisa diekstradiksi. Foto: ilustrasi (Sgp)
Pelaku ESKA bisa diekstradiksi. Foto: ilustrasi (Sgp)

Setiap pelaku kejahatan penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak bisa diekstradisi ke negara yang meminta atau ke negara tempat tindak pidana itu dilakukan. Dalam setiap perjanjian ekstradisi, negara peserta perjanjian perlu memastikan bahwa kejahatan eksploitasi seks komersial anak (ESKA) itu masuk kategori tindak pidana yang pelakunya bisa diekstradisi.

Inilah salah satu spirit yang terkandung dalam Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak. Protokol Opsional ini secara resmi diratifikasi Indonesia, dan dituangkan ke dalam UU No. 10 Tahun 2012. Berlaku sejak 23 Juli lalu, Protokol Opsional ini makin menambah payung hukum baru perlindungan anak. Pada bulan yang sama, diundangkan pula UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak.

Protokol Optional KHA lebih fokus pada pencegahan keterlibatan anak-anak dalam kejahatan seksual dan pelacuran. Sejumlah pemangku kepentingan sudah lama mendorong agar pemerintah memberikan payung hukum yang cukup untuk mencegah eksploitasi seks komersial terhadap anak.

Pasal 5 Protokol Opsional menyebut sejumlah perbuatan yang dapat diperjanjikan pelanggarnya bisa diekstradisi. Secara khusus dirujuk ke pasal 3 ayat (1) Protokol. Tiga jenis perbuatan yang disebut pasal 3 ayat (1) adalah penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak. Penjualan anak meliputi dua perbuatan utama. Pertama, menawarkan, menganarkan, atau menerima anak dengan cara apapun untuk tujuan eksploitasi seksual, transfer organ tubuh, dan pengikutsertaan anak dalam kerja paksa. Kedua, memperoleh persetujuan dengan cara yang tak semestinya untuk adopsi anak.

Perbuatan yang dapat dikualifikasi sebagai prostitusi anak adalah menawarkan, memperoleh, membeli, atau menyediakan anak untuk tujuan prostitusi. Lantas, pornografi anak mencakup memproduksi, distribusi, menyebarluaskan, impor, ekspor, menawarkan, menjual atau memiliki hal-hal untuk tujuan pornografi anak.

Begitu luasnya cakupan yang dilarang, sehingga menurut Ahmad Sofian, pertanggungjawaban pidana tak hanya dari orang, tetapi juga korporasi. Bukan hanya orang yang langsung terlibat penjualan, prostitusi, dan pornografi anak, tetapi juga mereka yang membiarkan perbuatan itu berlangsung di tempat wewenannya tanpa melapor ke petugas keamanan. “Pemilik hotel yang menyediakan prostitusi anak pun bisa dimintai tanggung jawab pidana,” kata Koordinator Nasional ECPAT Indonesia itu. ECPAT adalah organisasi yang mengeluarkan laporan tahunan tentang kondisi eksploitasi seks terhadap anak di berbagai negara.

Para pemangku kepentingan menyambut positif kehadiran UU No. 10 Tahun 2012. Berdasarkan informasi yang diperoleh hukumonline, pada 7 September mendatang para pemangku kepentingan akan membuat acara khusus menyambut pemberlakuan Protokol Opsional tersebut di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Namun, Sofian berpendapat, ratifikasi Protokol Opsional  KHA saja tidak cukup. Indonesia masih harus mengambil langkah-langkah lanjutan, termasuk penataan peraturan nasional, agar substansi Protokol ini berjalan. Sebab, kata Sofian, Protokol ini berimbas pada hukum nasional. Protokol melarang penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak. Negara harus memastikan semua cakupan perbuatan tersebut diatur pemidanaannya dalam hukum nasional. Hukum nasional juga harus memastikan pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang dapat diekstradisi.

Beberapa regulasi yang terkait adalah UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,  UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Tags: